TEMPO Interaktif, Jakarta: Matahari di pantai Pulau Merah serasa berada tepat di atas ubun-ubun. Teriknya menyengat kulit. Keluarga Sunarto malah tak beranjak dari kawasan wisata di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, itu. Dengan kaki telanjang, ia bersama anak dan istrinya berkejar-kejaran dengan ombak.
Pengunjung lainnya menikmati panorama laut sembari duduk di bawah rerimbunan pohon pandan duri. Daunnya yang lebat, panjang menjulur, menghalau panas. Yang terasa hanya semilir angin yang memancing rasa kantuk, diiringi deburan ombak serta empasan gelombang.
Semakin siang, pengunjung kian bertambah. Saat itulah keelokan pantai Pulau Merah mencapai klimaksnya. Salah satu dari tujuh bukit yang berjejer di tengah laut, menjulang ratusan meter dari permukaan laut, memantulkan warna kemerah-merahan saat ditimpa sinar matahari. Itu sebabnya pantai ini terkenal dengan nama pantai Pulau Merah.
Keelokan pantai serasa lengkap dengan warna pasir yang kekuning-kuningan serta ditaburi aneka kerang berwarna-warni. Pengunjung biasanya memunguti kerang untuk dibawa pulang. ''Pantai ini masih sangat alami,'' ujar Sunarto, warga Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi, yang saban bulan melancong ke pantai ini.
Ombaknya yang menjulang 4-5 meter juga menjadi daya tarik kawasan ini, terutama bagi para penyuka olahraga selancar. Ayunan ombaknya tak kalah ketimbang pantai Plengkung. Sucipto, 25 tahun, peselancar profesional, sudah berkali-kali menjajal kemampuannya di sini. Dari Bali, ia bahkan mengajak turis dari Prancis, Jerman, dan Australia berselancar di tempat ini. Apalagi belum ada bayaran apa pun untuk memasuki kawasan ini.
Sebagai penggila selancar, orang-orang seperti Sucipto memang kerap melakukan gerilya ke kawasan-kawasan baru ketika pantai Plengkung, misalnya, mulai dipadati pengunjung. Dua tahun lalu ia menemukan pantai Pulau Merah. Tak sia-sia ia berpromosi melalui mulut ke mulut. ''Sudah banyak turis yang berselancar di sini,'' ujarnya.
Gerakan tubuh Sucipto dan kawan-kawannya yang meliuk-liuk di antara empasan ombak menjadi tontonan mengasyikkan bagi para pengunjung.
Sayang tempat wisata ini belum dikelola dengan baik. Tidak ada fasilitas pendukung. Ada bangunan toilet, tapi tak ada airnya. Maklum, kawasan ini tergolong daerah kering. Untuk mendapatkan air bersih, penduduk harus menggali sumur sedalam 25-30 meter.
Apa boleh buat, bagi pengunjung yang ingin buang hajat, dipersilakan ke rumah penduduk yang berjarak 50 meter dari pantai. Begitu pula jika ingin salat. Penduduk setempat dengan ramah menerima tanpa bayaran.
Sunarto maupun Sucipto, seperti juga pengunjung lainnya, berharap segera dibangun fasilitas penunjang sebagai kawasan wisata. ''Saya yakin wisatawan domestik dan asing akan semakin banyak berkunjung ke sini,'' ujar Sunarto.
Bila terasa lapar dan tak membawa bekal makanan, ada satu-satunya warung bakso 'Pulau Merah'. Evi Erlita Yunani, 28 tahun, si pemilik warung, siap melayani dengan suguhan semangkuk bakso yang rasanya tak kalah enak dibanding bakso di tempat lain.
Evi setia menunggui warungnya meskipun hanya ramai pada Minggu atau hari libur. ''Setiap hari saya tetap jualan,'' tuturnya. Ia terus mencoba keberuntungan sembari berharap jumlah wisatawan yang datang semakin bertambah.
Menurut Evi, pantai Pulau Merah sebenarnya sudah lama dikenal meski pengunjungnya masih sedikit. Keelokan pantai ini lenyap dihantam gelombang Tsunami pada 1993. Kawasan ini mulai dilirik kembali sekitar tahun 2000.
Ika Ningtyas