TEMPO.CO, Jakarta - Philips baru merilis Indeks Kesehatan Masa Depan (Future Health Index atau FHI) 2021. Laporan ini mengukur kesiapan global dalam mengatasi tantangan kesehatan dan membangun sistem kesehatan yang efektif dan efisien selama tiga tahun ke depan. Ada 3 ribu responden dari kalangan pemimpin di bidang layanan kesehatan yang mengikuti penelitian ini.
Ribuan pimpinan itu berasal dari 14 negara yaitu Australia, Brazil, Cina, Prancis, Jerman, India, Italy, Belanda, Polandia, Rusia, Arab Saudi, Singapur, Afrika Selatan, dan Amerika.
Laporan itu mengidentifikasi tren umum menuju pendekatan para pemimpin di sektor kesehatan ini untuk melangkah ke digital transformasi dengan investasi memprioritaskan layanan telehealth. Selain itu ada layanan kecerdasan buatan atau artificial inteligent (AI) pun diharapkan bisa cepat berkembang pasca pandemi. Perlu pula kolaborasi antar pihak untuk menguatkan manfaat penggunaan teleheath dan kecerdasan buatan tingkat lanjut.
Inovasi regulasi seputar telehealth dalam beberapa tahun terakhir telah memungkinkan para pemimpin untuk memprioritaskan kecerdasan buatan untuk meringankan beban administrasi pada profesional perawatan kesehatan. "Saat sikap sosial terhadap AI bergeser, para pemimpin mengharapkan bisa menggunakan AI dalam aplikasi yang lebih bermakna, seperti membantu dukungan keputusan klinis, memprediksi hasil dan mengintegrasikan diagnostik," kata Caroline Clarke, Market Leader, Philips ASEAN Pacific dalam media briefing pada 5 Mei 2021. Data itu menyebutkan saat ini 14 negara itu rata-rata berinvestasi sebanyak 36 persen untuk penguatan AI. Namun diperkirakan pada 3 tahun ke depan, investasi 14 negara itu meningkat hingga 74 persen.
Ilustrasi surat keterangan sakit / sehat dari dokter. Nieuwsblad.be
Walau ide untuk memberikan investasi lebih pada dunia AI terus meningkat, tetap ada hambatan bagi sebagian negara untuk belum bisa mengadopsi telehealth atau AI. Clarke menyebutkan dua hambatan signifikan dalam perencanaan dan transformasi digital industri layanan kesehatan di Asia Pasifik, adalah staf yang tidak berpengalaman dengan teknologi layanan kesehatan serta kekurangan staf. "Jika ini tidak ditangani, maka akan memperlambat kemajuan Asia Pasifik dalam mengadopsi perawatan virtual, layanan kesehatan prediktif dan teknologi terkait," kata Clarke.
Lebih dari setengah persen atau 52 persen pemimpin dan pengambil keputusan di industri kesehatan Asia-Pasifik menilai kurangnya pengalaman staf dengan teknologi baru merupakan salah satu hambatan internal utama dalam perencanaan mereka. "Satu dari empat atau 26 persen lainnya mengatakan bahwa kekurangan staf merupakan hambatan internal yang menghalangi para pemimpin di industri kesehatan dalam perencanaan untuk masa depan," kata Clarke.
Sebanyak 42 persen pun mengaku kesulitan dalam manajemen data – kemungkinan terkait dengan volume data dan kurangnya kejelasan seputar kepemilikan – dianggap oleh para pemimpin di industri kesehatan Asia-Pasifik juga sebagai penghalang utama dalam mengadopsi teknologi kesehatan digital. "Laporan Future Health Index 2021 juga menyoroti bahwa kesulitan dalam manajemen data dianggap sebagai penghalang untuk mengadopsi teknologi digital yang lebih luas di Asia-Pasifik, sehingga analitik data dan prosedur manajemen menjadi area penting untuk diberikan pelatihan," katanya.
Baca: Perawatan dengan Teknologi Kesehatan Dinilai Bisa Kurangi Stres Para Dokter