TEMPO.CO, Jakarta - Kekerasan seksual bisa dialami siapa saja. Fanny Maulana, bukan nama sebenarnya, masih mengingat dengan jelas perkenalannya dengan seorang pria setahun lalu yang belakangan membawa petaka. Sebuah aplikasi kencan daring mempertemukan keduanya pada Maret 2020.
Setelah menjalin komunikasi intensif selama berminggu-minggu, perempuan berusia 26 tahun itu menerima ajakan untuk bertatap muka. Ia tak menyangka pria tersebut memaksa untuk berhubungan seksual. Fanny tak membuang waktu untuk segera melaporkan kejadian yang ia alami ke polisi dan melakukan visum.
Namun, menurut pendampingnya, Poppy Dihardjo, meski laporan Fanny diterima, kasusnya mengendap berbulan-bulan. "Padahal tanda-tanda kekerasan tersebut terlihat dalam visum," kata Poppy.
Dalam kasus ini, Poppy banyak berperan di luar ruang litigasi. Melalui inisiatif yang ia bentuk, No Recruit List (NRL), Poppy menghubungi manajemen pusat perusahaan tempat pelaku bekerja di Singapura. Ia memberitahukan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pria tersebut.
NRL adalah inisiatif Poppy yang dilahirkan pada Maret 2020 dengan tujuan membatasi ruang gerak pelaku, sembari mewujudkan ruang kerja aman dari penjahat seksual. "Perusahaan harus tahu bahwa di dalam perusahaannya ada seseorang yang berbahaya bagi perusahaan dan berpotensi membuat citra perusahaan jadi buruk," kata dia.
Dengan berbekal identitas pelaku dan kronologi dari korban, Poppy dan timnya melacak perusahaan tempat si pelaku bekerja dan memverifikasi setiap detil informasi yang didapatkan. Sembari mencari-cari informasi mengenai pelaku, Poppy dan timnya juga fokus pada kebutuhan korban yang beragam.
Salah satunya, jika korban ingin melaporkan pelaku ke polisi, NRL akan memberikan rekomendasi lembaga bantuan hukum yang bisa mendampingi korban. "Banyak korban yang hanya menginginkan pelaku masuk dalam database supaya perusahaan mengetahui ulahnya," kata dia.
Yang perlu diingat, kata Poppy, melapor ke polisi kerap tak sesuai ekspektasi. Dalam kasus Fanny, polisi terus memintanya memancing pelaku. Cara polisi menggali informasi pun, membuat trauma yang dialami Fanny tak kunjung pulih. "Pada akhirnya kasus saya dihentikan karena menurut polisi kurang bukti," kata Fanny.
Hal-hal inilah yang membuat Fanny memutuskan menghubungi Poppy sekitar November 2020. Ia ingin membatasi ruang gerak pelaku.
Hasilnya, perusahaan memutuskan tidak melanjutkan kontrak kerja pelaku, namun tanpa catatan apapun, sehingga pelaku dengan mudah diterima di sebuah perusahaan rintisan. Sayangnya, upaya Poppy menjangkau perusahaan rintisan itu tak membuahkan hasil positif.
Menurut Poppy, mengajak perusahaan untuk aktif dalam menciptakan ruang kerja aman dari predator seksual, bukan hal mudah. Bagi perusahaan yang berkomitmen menciptakan ruang kerja aman, pelaku akan diberi sanksi bahkan dipecat dengan memberikan catatan mengenai kasusnya. Ada juga yang melakukan mutasi dan memantau gerak-gerik pelaku dengan evaluasi berkala.
Upaya membatasi ruang gerak pelaku kekerasan seksual berbasis siber juga dilakukan oleh Teguh Aprianto, pendiri komunitas Ethical Hacker Indonesia. Teguh kerap menerima curhat dari para korban yang konten intimnya disebarkan tanpa persetujuan di berbagai platform media sosial dan berbagai situs di ruang maya.
Ia lantas memburu para pelaku. Misinya, pelaku menghapus konten tersebut, berhenti menyebarkannya, dan meminta maaf kepada korban. Ia juga kerap membantu korban menjangkau situs-situs yang terasa sulit diakses agar konten intim mereka bisa 'diturunkan'.
Menurut Teguh, upayanya ini mengisi ruang kosong dalam menghadirkan 'keadilan' bagi pelaku. "Ada korban yang baru merasa lega ketika mengetahui di mana ujungnya, syukur-syukur pelaku mau meminta maaf," kata dia. Memang, permintaan maaf tak akan pernah cukup. Namun, setidaknya mampu membuat korban merasa lega dan tidak terus menerus menghakimi diri sendiri.
Teguh mengatakan berhubungan dengan kasus pelanggaran konten intim sangat pelik karena berkejaran dengan waktu. Konten yang telah diunggah dapat menyebar dengan cepat hanya dalam hitungan detik. Karena itu, ia mengingatkan semua orang harus segera melek terhadap keamanan digitalnya.
Terlebih, kasus kekerasan seksual digital ini terus meningkat di Indonesia. Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan ada lonjakan tiga kali lipat pada kasus-kasus kekerasan berbasis siber sepanjang 2020.
Bahkan, menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan, situasinya semakin gawat. "Korbannya semakin ke sini semakin muda, ada yang masih SMP dan SMA," kata dia.
Demi membatasi ruang gerak pelaku, Semuel meminta korban untuk segera menghubungi lembaga yang ia pimpin. Menurutnya tak ada anonimitas mutlak. "Di internet (walau menggunakan identitas palsu), semua bisa dilacak asal laporannya cepat dilakukan. Kalau tidak pelaku bisa kabur duluan," kata dia.
Baca: Kisah Produsen dan Distributor Video Porno, Suka Merekam Tanpa Diketahui Korban
Kolaborasi dengan Judith Nellson Institute - Asian Stories
DINI PRAMITA| DIKO OKTARA | LINDA TRIANITA | MITRA TARIGAN