TEMPO.CO, Jakarta – Vicky Burki, instruktur senam yang kerap tampil di televisi, menyatakan ia telah melalukan terapi urine atau meminum air kencingnya sendiri selama 16 tahun. Terapi urine sebenarnya memang sudah lama dikenal jauh sebelum hebohnya pemberitaan Vicky Burki.
Terapi urine sebenarnya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, tepatnya sejak Kerajaan Yunani, Mesir, dan Romawi masih berkuasa. Orang-orang yang melakukan terapi urine biasanya mempercayai bahwa meminum urine sendiri akan mendatangkan banyak manfaat bagi kesehatan. Padahal, hingga saat ini belum ada hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa terapi urine aman dan mendatangkan manfaat bagi tubuh.
Bahkan, beberapa penelitian justru menunjukkan sebaliknya. Dilansir dari laman resmi RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo, meminum urine sendiri justru berbahaya. Bahaya tersebut ditimbulkan oleh adanya banyak bakteri dalam cairan urine. Beberapa bakteri dalam cairan urine bahkan bersifat resisten terhadap antibiotik. Akibatnya, apabila masuk ke dalam tubuh, bakteri tersebut sulit untuk dibunuh.
Cairan urine sendiri sebenarnya memang steril dari bakteri. Namun, banyak berbagai jenis bakteri yang hidup di area genital manusia. Oleh karena itu, urine yang telah dikeluarkan dari tubuh menjadi tidak steril. Urine yang tidak steril tentunya tidak aman untuk dikonsumsi.
Selain bakteri, ada juga beberapa kandungan lain di dalam urine yang tidak aman bagi tubuh. Salah satunya adalah zat sisa. Urine merupakan zat ekskresi tubuh. Artinya, dalam cairan urine terdapat berbagai zat sisa metabolisme yang tidak lagi diperlukan tubuh. Apabila zat sisa tersebut masuk kembali ke dalam tubuh, zat tersebut tidak punya manfaat bagi tubuh. Hal ini berimplikasi kepada cara kerja ginjal. Sebab, ginjal harus menyaring zat-zat yang tidak berguna itu lagi. Akibatnya, kerja ginjal menjadi lebih berat.
Ada juga zat obat-obatan yang terkandung di dalam cairan urine. Seperti makanan, zat-zat obat yang tidak lagi diperlukan oleh tubuh akan dibuang melalui urine. Pembuangan zat sisa obat-obatan merupakan upaya tubuh untuk menyesuaikan dosis obat yang tepat dengan kondisi tubuh. Oleh karena itu, mengonsumsi kembali zat obat-obatan yang terkandung dalam urine berarti mengubah dosis obat yang telah disesuaikan oleh tubuh.
Beberapa sumber ilmiah jelas mengimbau bahwa terapi urine sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan. Divisi anti-hoax RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo menjelaskan bahwa berbagai penelitian terkait efektivitas terapi urine masih bersifat in vitro atau in vivo. Artinya, pengujian tersebut hanya dilakukan pada satu jenis sel saja, satu sel manusia untuk uji in vitro dan satu sel hewan untuk uji in vivo. Hasil pengujian satu sel tentunya tidak bisa diterapkan kepada beberapa sel lain begitu saja.
NAOMY A. NUGRAHENI
Baca: Terapi Urine Sudah Ada Sejak Ribuan Tahun, Yakin Bikin Sehat