Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Testimoni Dokter Pakai Ivermectin ke Pasien Covid-19 dengan Ragam Komorbid

Reporter

Editor

Rini Kustiani

image-gnews
Ilustrasi obat. TEMPO/Subekti
Ilustrasi obat. TEMPO/Subekti
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan belum mengeluarkan izin edar Ivermectin untuk terapi pasien Covid-19. Lembaga ini baru menerbitkan persetujuan Expanded Access Program, bukan persetujuan izin edar.

Expanded Access Program adalah persetujuan penggunaan Ivermectin di delapan rumah sakit fasilitas uji klinik yang juga menjadi rumah sakit rujukan Covid-19. Delapan rumah sakit itu adalah RSUP Persahabatan, Jakarta; RS Sulianti Saroso, Jakarta; RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta; RSAU Jakarta; RSU Suyoto, Jakarta; RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Jakarta; RS Sudarso, Pontianak; dan RS Adam Malik, Medan.

Uji klinik Ivermectin dilakukan oleh Badan Pengkajian Kebijakan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Dari uji klinik tadi akan diketahui apakah Ivermectin manjur atau tidak untuk pengobatan pasien Covid-19.

Kendati masih menjadi kontroversi, sejumlah dokter menyatakan telah meresepkan penggunaan Ivermectin untuk pasien Covid-19. Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Hadianti mengatakan menggunakan Ivermectin atas persetujuan pasien Covid-19 yang disertai komorbid.

Hadianti memaparkan kondisi tujuh pasien Covid-19 yang dia tangani dalam webinar Ivermectin World Day yang diadakan Front Line COVID-19 Critical Care atau FLCCC pada Minggu, 25 Juli 2021. "Pada intinya, kami ingin membantu pasien Covid-19 untuk sembuh," katanya.

Dari tujuh pasien Covid-19 ini, ada yang memilih menggunakan Ivermectin dan ada yang semula berkukuh menolak, namun pada akhirnya bersedia mencoba menggunakannya.

  • Pasien 1
    Laki-laki, 52 tahun, memiliki komorbid Diabetes Melitus, gangguan jantung, obesitas tipe tiga dengan berat badan sekitar 140 kilogram. Perawatan pada Februari 2021 di salah satu rumah sakit di Makassar, Sulawesi Selatan.

    "Ketika dikonsulkan ke saya, pasien ini sudah menggunakan ventilator," katanya. Lantaran sudah menggunakan alat bantu napas, maka menurut Hadianti, sudah terjadi badai sitokin dalam paru-paru pasien tersebut. Badai sitokin adalah reaksi sistem kekebalan tubuh yang berlebihan dalam menghalau virus. Sitokin yang berupa protein memenuhi jaringan terinfeksi dan memicu peradangan.

    Kondisi badai sitokin ini membuat Hadianti meresepkan Actemra (Tocilizumab) kepada pasien tersebut. Ini adalah salah satu obat Covid-19 yang direkomendasikan WHO untuk mengatasi badai sitokin. Untuk diketahui, obat Actemra ini seharga jutaan rupiah. "Pasien menolak Actemra," katanya. "Dia memilih Ivermectin."

    "Pasien ini yang membuat saya menggunakan Ivermectin dengan yakin," katanya. Hadianti kemudian mencari referensi penggunaan Ivermectin dengan dosis yang sesuai untuk kondisi setiap pasien. Pasien Covid-19 tersebut kemudian mengkonsumsi Ivermectin selama lima hari dan obat lain sesuai kondisi.

    Dalam pemantauan harian, kondisi pasien tersebut membaik. Setelah lima hari, foto rontgen toraks menunjukkan badai sitokin sudah mereda dan hasil CT scan bagus. Saturasi oksigen pasien juga menunjukkan angka 93 sampai 95 dan laju pernapasan 20 sampai 22 kali per menit.

    Pasien tersebut menjalani perawatan selama 12 hari di rumah sakit dan melanjutkan konsumsi Ivermectin selama dua pekan di rumah setelahnya atas keinginan sendiri. Saat kembali memeriksakan kesehatan atau kontrol, pasien tersebut menjalani uji laboratorium untuk mengetahui fungsi hati. Hasilnya, masih dalam batas normal.

  • Pasien 2
    Laki-laki, 42 tahun, minum Ivermectin selama lima hari. Pasien ini, menurut Hadianti, juga mengkonsumsi obat-obatan Covid-19 lain, seperti Avigan dan Favipiravir. Ada pula pemberian Steroid dan Antikoagulan. "Kondisi pasien ini menarik karena mengalami interleukins," katanya. Interleukins adalah kondisi yang secara bertahap menuju badai sitokin di paru-paru.

    Setelah beberapa hari, menurut Hadianti, level interleukins pasien menurun. Dengan tidak naiknya interleukin enam dan interleukin satu pada pasien ini, maka tidak perlu mengkonsumsi Actemra dan tak perlu ventilator. Kondisi pasien pun berangsur membaik.

  • Pasien 3
    Laki-laki, 59 tahun, Obesitas, Diabetes Melitus, Hipertensi, penyakit jantung. Pasien ini, menurut Hadianti, sudah mengalami badai sitokin, saturasi 94, dan tekanan darahnya cukup tinggi. Pasien ini menjalani terapi obat Ivermectin, Remdesivir, Levofloxasin, Steroid, antikoagulan, dan Intravenous Immunoglobulin Therapy atau IVIG. Setelah mengkonsumsi Ivermectin dan obat-obat lainnya selama tiga hari, kondisi badai sitokin pada paru-paru mereda.

  • Pasien 4
    Laki-laki, 74 tahun, penyakit jantung koroner, Hipertensi, Obesitas. Pasien ini sudah mengkonsumsi Ivermectin atas inisiatif sendiri selama dua hari di rumah. "Akhirnya dibawa ke rumah sakit lantaran kondisinya belum juga membaik karena usianya dan komorbid," ujar Hadianti.

    Iklan
    Scroll Untuk Melanjutkan

    Selama perawatan, pasien masih minum Ivermectin selama lima hari bersamaan dengan obat Covid-19 Favipiravir dan antikoagulan. Hasilnya setelah dua hari dirawat, kondisi pasien membaik.

  • Pasien 5
    Perempuan, 70 tahun, istri dari pasien 4. Memiliki komorbid hipertensi dan obesitas. Seperti suaminya, pasien ini sudah mengkonsumsi satu butir Ivermectin di rumah selama dua hari. Pemberian obat tersebut berlanjut di rumah sakit selama lima hari dengan disertai Favipiravir dan antikoagulan. "Dia dirawat karena suaminya juga dirawat dan sama-sama terinfeksi Covid-19," katanya.

  • Pasien 6
    Perempuan, 46 tahun dengan penyakit autoimun Sjorgen Syndrome dan obesitas. Ketika masuk rumah sakit, saturasi oksigennya 93 dan laju pernapasan 28 sampai 30 kali per menit. Petugas kemudian memasang ventilator dan hingga saturasi oksigennya membaik mencapai 96 hingga 98.

    "Hasil rotgen toraks menunjukkan sudah terjadi badai sitokin di paru-paru," kata Hadianti. Selama dirawat, pasien ini menjalani terapi obat Ivermectin, Remdesivir, antibiotik, antijamur, Steroid, Enoxaparin sebagai antikoagulan, dan satu kali Actemra. Semula dokter akan memberikan dosis kedua Actemra karena badai sitokinnya tinggi sekali. Namun urung karena setelah mengecek level interleukin dan hasil tes laboratorium lainnya, secara keseluruhan kondisinya membaik.

  • Pasien 7
    Laki-laki, 51 tahun, dengan komorbid hipertensi dan asma. Hadianti menjelaskan, pasien ini terbilang unik karena semula berkukuh menolak Ivermectin. Selama 14 hari dirawat di rumah sakit, dia mengkonsumsi obat-obatan Covid-19, seperti Avigan, Remdesivir, antikoagulan, dan rencananya akan diberikan Actemra.

    "Pasien ini dan sudah menjalani isolasi mandiri selama 12 hari sebelum masuk rumah sakit," katanya. Selama isolasi mandiri, pasien tersebut menjalani terapi oksigen, inhaler, dan nebulizer. Akhirnya dirawat di rumah sakit dengan saturasi oksigen 85 ketika masuk dan langsung menggunakan ventilator.

    "Setelah melakukan pendekatan, penjelasan panjang lebar disertai bukti-bukti, dan pasien juga membaca sendiri rujukan-rujukannya, akhirnya setuju (menggunakan Ivermectin)," katanya. Pasien ini mengkonsumsi Ivermectin selama lima hari berturut-turut dan kondisinya berangsur membaik setelah sembilan hari perawatan. Keluhan terakhirnya hanya batuk.

Hadianti mengaku dia minum Ivermectin, begitu juga dengan keluarga dan kolega sesama tenaga medis. "Saya minum, keluarga saya minum sebagai profilaksis (pencegahan)," katanya. Selain dengan protokol kesehatan dan vaksinasi Covid-19, menurut dia, tiada salahnya melindugi diri dengan mengkonsumsi obat tersebut. "Manajemen rumah sakit tempat saya bekerja menyetujui penggunaan Ivermectin untuk profilaksis dan kepada pasien-pasien kami."

Tak hanya Hadianti, Dokter Spesialis Kandungan Firman Abdullah juga mengkonsumsi Ivermectin untuk diri sendiri dan keluarga. "Saya pelajari Ivermectin, aman. Meskipun itu obat untuk hewan dan ternyata sudah sepuluh tahun lalu bisa diberikan untuk manusia," katanya.

Dari berbagai referensi bacaan, Firman mengatakan Ivermectin biasanya digunakan untuk terapi penyakit Hepatitis E karena mampu menghambat replikasi virus. Anak Firman yang terpapar Covid-19 juga minum Ivermectin sejak hari pertama dirawat di rumah sakit. "Hari demi hari kondisinya membaik, memperpendek masa perawatan, dan mengurangi keparahan."

Ivermectin, menurut Firman, terbilang obat yang murah. Anaknya mengkonsumsi Ivermectin satu tablet sehari selama lima hari. Harganya Rp 7.000 per tablet dikali lima hari, jadi Rp 35 ribu. "Bisa sembuh, walaupun memang tidak sebagai obat tunggal," katanya.

Firman juga pernah merekomendasikan Ivermectin kepada temannya, sepasang suami istri yang terpapar Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri di rumah. Mereka berusia 80 tahun dengan saturasi oksigen masing-masing 89 dan 91. Salah satunya sudah terpasang delapan ring jantung. "Sekarang kondisinya stabil dan membaik," ucapnya.

#CuciTangan #JagaJarak #PakaiMasker #DiamdiRumah

Baca juga:
BPOM Tegas Minta Semua Pihak Tak Promosikan Ivermectin, Kenapa?

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Benarkah Tidur di Lantai atau dengan Kipas Angin Sebabkan Paru-paru Basah?

15 jam lalu

Sejumlah anggota ormas dari BPPKB tidur di lantai  saat menunggu pendataan setelah diamankan oleh tim pemburu preman Polres Jakarta Barat (21/9).  Tempo/Aditia Noviansyah
Benarkah Tidur di Lantai atau dengan Kipas Angin Sebabkan Paru-paru Basah?

Dokter meluruskan beberapa mitos seputar paru-paru basah, termasuk yang mengaitkan kebiasaan tidur di lantai dan kipas angin menghadap badan.


Prof Tjandra Yoga Aditama Penulis 254 Artikel Covid-19, Terbanyak di Media Massa Tercatat di MURI

17 jam lalu

Guru Besar Pulmonologi di FKUI Tjandra Yoga Aditama, yang juga Eks Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara. dok pribadi
Prof Tjandra Yoga Aditama Penulis 254 Artikel Covid-19, Terbanyak di Media Massa Tercatat di MURI

MURI nobatkan Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran UI, Prof Tjandra Yoga Aditama sebagai penulis artikel tentang Covid-19 terbanyak di media massa


KPK Tuntut Bekas Bupati Muna Hukuman 3,5 Tahun Penjara dalam Korupsi Dana PEN

21 jam lalu

Bupati Muna (nonaktif), Muhammad Rusman Emba, menjalani pemeriksaan lanjutan, di gedung KPK, Jakarta, Jumat, 19 Januari 2024. Muhammad Rusman, diperiksa sebagai tersangka dalam pengembangan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan Dana Pemulihan Ekonomi Nasional daerah Kabupaten Muna Tahun 2021 - 2022 di Kementerian Dalam Negeri. TEMPO/Imam Sukamto
KPK Tuntut Bekas Bupati Muna Hukuman 3,5 Tahun Penjara dalam Korupsi Dana PEN

"Terbukti secara sah dan meyakinkan," kata jaksa KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat membacakan surat tuntutan pada Kamis, 18 April 2024.


Pemerintah Cabut Pembatasan Barang TKI, Begini Bunyi Aturannya

1 hari lalu

Suasana BNP2TKI di Terminal 4, Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, 1 Oktober 2014. Penutupan ini sesuai dengan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit kerja presiden bidang pengawasan dan Pengendalian pembangunan (UKP4). TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat.
Pemerintah Cabut Pembatasan Barang TKI, Begini Bunyi Aturannya

Sebelumnya, pemerintah membatasi barang TKI atau pekerja migran Indonesia, tetapi aturan ini sudah dicabut. Begini isi aturannya.


Perempuan Mahardhika Nilai Penahanan Anandira Puspita Bersama Bayi Berpotensi Mereviktimisasi Korban

1 hari lalu

Ilustrasi selingkuh. Shutterstock
Perempuan Mahardhika Nilai Penahanan Anandira Puspita Bersama Bayi Berpotensi Mereviktimisasi Korban

Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Tyas Widuri, menilai penahanan Anandira Puspita dan bayinya berpotensi mereviktimisasi korban dugaan perselingkuhan suaminya.


Sering Diabaikan, Padahal Peradangan Berisiko Penyakit Jantung sampai Kanker

1 hari lalu

Ilustrasi kanker (pixabay.com)
Sering Diabaikan, Padahal Peradangan Berisiko Penyakit Jantung sampai Kanker

Peradangan yang terlalu sering berbahaya bagi kesehatan dan kita kerap mengabaikan dampaknya, yakni penyakit kronis.


Hipertensi Jadi Penyakit Paling Banyak di Pos Kesehatan Mudik

5 hari lalu

Ilustrasi hipertensi (Pixabay.com)
Hipertensi Jadi Penyakit Paling Banyak di Pos Kesehatan Mudik

Kementerian Kesehatan mencatat hipertensi menjadi penyakit yang paling banyak ditemui di Pos Kesehatan Mudik Idulfitri 1445 H/2024 M.


2.700 Perawat Dikerahkan di Tengah Mogok Massal Dokter Korea Selatan

6 hari lalu

Para dokter saat protes terhadap rencana penerimaan lebih banyak siswa ke sekolah kedokteran, di depan Kantor Kepresidenan di Seoul, Korea Selatan, 22 Februari 2024. REUTERS/Kim Soo-Hyeon
2.700 Perawat Dikerahkan di Tengah Mogok Massal Dokter Korea Selatan

Korea Selatan masih didera pemogokan massal para dokter. Ribuan perawat disiagakan.


Pesan PB IDI agar Masyarakat Tetap Sehat saat Liburan dan Mudik di Musim Pancaroba

7 hari lalu

Ilustrasi kemacetan arus mudik / balik. TEMPO/Prima Mulia
Pesan PB IDI agar Masyarakat Tetap Sehat saat Liburan dan Mudik di Musim Pancaroba

Selain musim libur panjang Idul Fitri, April juga tengah musim pancaroba dan dapat menjadi ancaman bagi kesehatan. Berikut pesan PB IDI.


5 Menu Lebaran Ini Sebaiknya Dihindari Penderita Hipertensi

8 hari lalu

Resep gulai kambing ala India yang bisa menjadi alternatif menu idul adha
5 Menu Lebaran Ini Sebaiknya Dihindari Penderita Hipertensi

Orang yang menderita hipertensi sangat disarankan menghindari 5 menu lebaran berikut ini.