Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pandemi Covid-19 dan Kiat Tetap Waras kala Isolasi Mandiri

Reporter

image-gnews
Petugas kesehatan dari Puskesmas Tamansari dan Satgas Covid-19 RW 10 Tamansari, memeriksa warga positif Covid-19 yang sedang isolasi mandiri di kawasan permukiman di Bandung, Rabu, 4 Agustus 2021. Warga positif Covid-19 tetap sulit untuk mengakses fasilitas perawatan di rumah sakit karena masih minimnya pasokan oksigen.  TEMPO/Prima Mulia
Petugas kesehatan dari Puskesmas Tamansari dan Satgas Covid-19 RW 10 Tamansari, memeriksa warga positif Covid-19 yang sedang isolasi mandiri di kawasan permukiman di Bandung, Rabu, 4 Agustus 2021. Warga positif Covid-19 tetap sulit untuk mengakses fasilitas perawatan di rumah sakit karena masih minimnya pasokan oksigen. TEMPO/Prima Mulia
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi COVID-19 sudah berlangsung hampir dua tahun, membuat orang-orang bisa bersiap menghadapi kemungkinan terinfeksi COVID-19 namun tetap sulit merasa tenang ketika akhirnya terpapar. Menjaga kesehatan tubuh saat pandemi memang sangat penting dilakukan. Namun, jangan abaikan kondisi kesehatan mental, karena pikiran sehat dan hati yang gembira adalah obat yang paling mujarab.

Rasa cemas, takut, dan stres ketika terinfeksi COVID-19 merupakan hal wajar dan harus diterima secara lapang dada sebagai langkah awal menjaga kesehatan mental saat isolasi mandiri. Psikolog Rininda Mutia dari Universitas Indonesia mengatakan kegundahan itu wajar dirasakan karena merupakan pertanda ada sesuatu yang terjadi di sekitar dan membuat kita harus bertindak agar bisa bertahan.

"Terima dulu kalau kita merasa hal tersebut. Semakin kita menyangkal, 'Biasa saja ah kena COVID-19', biasanya perasaan itu akan meluap di waktu lain. Jadi tidak bisa tidur dan kepikiran," jelas Rininda.

Stres muncul ketika orang merasakan tidak punya sumber daya yang sepadan dengan apa yang sedang dihadapi. Setelah berdamai dengan stres, perbanyaklah sumber daya yang dibutuhkan agar stres berkurang dengan cara mencari informasi. Cari tahu apa itu COVID-19, proses penularan, dampaknya, dan tentu cara menanggulanginya.

Membekali diri dengan ilmu pengetahuan membuat orang bisa terhindar dari rasa takut berlebihan yang tak baik bagi kesehatan batin. Namun, perlu diingat untuk mencari sumber informasi yang bisa dipercaya agar tidak terjebak hoaks yang justru menimbulkan kepanikan baru. Cari informasi dari media-media terpercaya serta situs resmi pemerintah.

Jangan langsung percaya informasi yang beredar di grup percakapan yang belum jelas sumbernya. Hindari membaca berita-berita yang membuat risau, seperti rumah sakit yang penuh atau kasus COVID-19 terus naik.

"Memang COVID-19 muncul di era media sosial sedang booming, informasi bisa diakses 24 jam, kita tidak tahu apakah informasi itu valid atau tidak, jadi batasilah akses media sosial," ujarnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia selalu perlu berinteraksi dengan orang lain. Ketika isolasi mandiri, interaksi fisik tak bisa dilakukan dengan orang lain. Tapi, manfaatkanlah teknologi agar tetap terhubung dengan keluarga atau sahabat. Sosialisasi penting dilakukan, terlebih ketika sedang isolasi dan merasa sedang terkurung.

Terhubung dengan orang lain bisa mengusir kesepian dan tertekan. Bagilah perasaan dengan orang lain, perbincangan bisa mengikis rasa sepi dan membuat tidak sendirian berkat dukungan orang lain. Lakukan panggilan video dengan orang-orang terdekat agar tetap semangat menjalani hari.

Jika mengenal penyintas lain, berbincanglah untuk mendapatkan masukan berdasarkan pengalaman mereka agar isolasi mandiri terasa ringan. Bila perlu, ikuti acara kumpul-kumpul virtual yang banyak digelar di dunia maya. Seminar virtual hingga kelas virtual, semuanya bisa dipilih sesuai yang disukai.

Setelah mengetahui informasi mengenai COVID-19 dan cara menghadapinya, arahkan perilaku menuju hal-hal yang bermanfaat untuk diri sendiri. Dia mencontohkan fenomena panic buying beberapa waktu lalu, kala berbagai vitamin ludes saat kasus COVID-19 sedang tinggi. Berpikirlah dengan kepala dingin, bila memang perlu vitamin jangan kalap saat membeli.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Jangan karena lagi positif COVID-19 beli sebanyak-banyaknya, akhirnya uang habis untuk vitamin tapi hal lain malah ditelantarkan. Dengan informasi yang baik, perilaku jadi lebih terarah," jelasnya.

Langkah selanjutnya adalah berpikir dan mengambil tindakan untuk apa yang terjadi sekarang alih-alih memikirkan masa lampau dan masa depan yang belum terjadi. Memikirkan apa yang bisa diubah di masa lalu dan kemungkinan terburuk di masa depan hanya akan memperparah kecemasan.

"Berpikir here and now, di sini dan saat ini. Jangan terlalu jauh ke belakang atau ke depan," imbaunya.

Jangan terjebak dalam penyesalan berkepanjangan atas kesalahan masa lalu yang membuat Anda terinfeksi COVID-19. Menyalahkan masa lalu terus menerus dan tak henti meratap tidak akan mengubah keadaan karena yang lalu tidak bisa diulang lagi tapi bisa dipelajari untuk ke depan, seperti jangan kumpul-kumpul lagi, kalau sudah terjadi terimalah.

Di sisi lain, jangan terlalu memikirkan hal-hal yang belum terjadi di masa depan yang malah membuat pikiran semakin ruwet. Apalagi bila yang dipikirkan adalah hal-hal negatif yang membuat diri semakin takut dan khawatir.

"Memikirkan sesuatu yang belum terjadi juga tidak baik, tapi fokus kita ketika didiagnosa COVID-19 adalah apa yang bisa dilakukan saat ini," katanya.

Tindakan yang lebih penting menjadi prioritas, contohnya menghubungi Satgas COVID-19 terdekat, menghubungi Puskesmas di dekat rumah agar bisa dipantau, menghubungi pihak kantor, mengabari keluarga, serta memberitahu orang-orang yang pernah kontak dekat bila memang pernah berjumpa dengan orang lain. Saat berdiam di rumah, carilah kegiatan yang bermanfaat untuk batin, seperti relaksasi yang panduannya sudah beredar di Internet. Manfaatkan waktu untuk melakukan kegiatan yang dulu belum sempat dilakukan. Pastikan untuk tetap menjaga kebugaran dengan olahraga ringan.

"Pastikan tidur, makan, minum, semua tercukupi, jangan lupa juga berjemur," ujarnya. Waktu luang di tengah isolasi mandiri dapat juga digunakan untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa lewat ibadah yang lebih intensif.

Baca juga: Macam Makanan untuk Dikirim ke Pasien Isolasi Mandiri

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Peruri Ungkap Permintaan Pembuatan Paspor Naik hingga Tiga Kali Lipat

9 jam lalu

Dwina Septiani Wijaya. Dok. Peruri
Peruri Ungkap Permintaan Pembuatan Paspor Naik hingga Tiga Kali Lipat

Perum Peruri mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri hingga tiga kali lipat usai pandemi Covid-19.


Pakar Sebut 8 Hal Paling Umum yang Percepat Penuaan

1 hari lalu

Ilustrasi wanita menyikat gigi. Foto: Unsplash.com/Diana Polekhina
Pakar Sebut 8 Hal Paling Umum yang Percepat Penuaan

Pakar kesehatan menyebut delapan perilaku tak sehat paling umum yang mempercepat proses penuaan. Apa saja?


Kelola Stres Setiap Hari untuk Redakan Emosi

1 hari lalu

Ilustrasi mengurangi stress. Freepik.com/fabrikasimf
Kelola Stres Setiap Hari untuk Redakan Emosi

Mengelola stres adalah cara meredakan emosi yang harus terus dilatih setiap hari agar tidak mudah emosional si situasi yang buruk.


Kecewa karena Calon yang Didukung Kalah, Simak Saran Psikolog

1 hari lalu

Ilustrasi stres. TEMPO/Subekti
Kecewa karena Calon yang Didukung Kalah, Simak Saran Psikolog

Psikolog mengatakan wajar bila orang kecewa karena harapan tidak menjadi kenyataan tetapi rasa kecewa itu mesti dikelola agar tak sampai memicu stres.


Jeda 3-7 Hari dari Media Sosial Bisa Meningkatkan Kesehatan Mental? Begini Penjelasannya

3 hari lalu

Ilustrasi bermain media sosial. (Unsplash/Leon Seibert)
Jeda 3-7 Hari dari Media Sosial Bisa Meningkatkan Kesehatan Mental? Begini Penjelasannya

Sebuah studi penelitian 2022 terhadap anak perempuan 10-19 tahun menunjukkan bahwa istirahat di media sosial selama 3 hari secara signifikan berfaedah


Pemalu Hingga Takut Bentuk Kecemasan Sosial pada Anak, Ini Cara Atasinya

3 hari lalu

Ilustrasi anak pemalu. thrivingnow.com
Pemalu Hingga Takut Bentuk Kecemasan Sosial pada Anak, Ini Cara Atasinya

Kecemasan sosial pada anak bukan hanya sekadar berdampak menjadi pemalu, namun dapat menyebabkan anak merasa takut dan menghindari situasi sosial


Peneliti BRIN di Spanyol Temukan Antibodi Pencegah Virus SARS-CoV-2

3 hari lalu

Gambar mikroskop elektron pemindaian ini menunjukkan SARS-CoV-2 (obyek bulat biru), juga dikenal sebagai novel coronavirus, virus yang menyebabkan Covid-19, muncul dari permukaan sel yang dikultur di laboratorium yang diisolasi dari pasien di AS. [NIAID-RML / Handout melalui REUTERS]
Peneliti BRIN di Spanyol Temukan Antibodi Pencegah Virus SARS-CoV-2

Fungsi utama antibodi itu untuk mencegah infeksi virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemi Covid-19 pada 2020.


Tanda Ibu Hamil Alami Gangguan Mental

4 hari lalu

Ilustrasi wanita depresi. (Pixabay.com)
Tanda Ibu Hamil Alami Gangguan Mental

Gangguan mental pada ibu hamil perlu dikenali karena membuat perasaan tidak nyaman dan ada gangguan pada aktivitas sehari-hari.


Mengapa Stres Bisa Sebabkan Sakit Punggung?

5 hari lalu

Ilustrasi sakit punggung. Freepik.com/Gpointstudio
Mengapa Stres Bisa Sebabkan Sakit Punggung?

Stres sebabkan sakit punggung bisa terjadi lantaran tubuh Anda mengalami reaksi kimia sebagai respons terhadap stres.


Cara Menjaga Kualitas Hubungan dengan Pasangan Pasca Melahirkan Anak Pertama

6 hari lalu

Ilustrasi ibu dan bayi. Unsplash.com/Sharon Muccutcheon
Cara Menjaga Kualitas Hubungan dengan Pasangan Pasca Melahirkan Anak Pertama

Studi menemukan bahwa sikap terhadap sentuhan berdampak pada pasangan dalam transisi menjadi orang tua atau usai melahirkan anak pertama.