TEMPO.CO, Jakarta - Publik dikejutkan dengan kabar dugaan pelecehan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI. Korban dan pelaku kasus tersebut semuanya laki-laki. Setelah pelecehan terjadi beberapa waktu, baru sekarang korban berani mengungkap semuanya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK, Livia Istania DF Iskandar mengatakan, terjadi kondisi yang sama-sama sulit ketika laki-laki maupun perempuan menjadi korban pelecehan seksual atau kekerasan seksual karena konstruksi sosial. Menurut dia, selama ini masyarakat menganggap pria adalah sosok yang kuat dan perempuan lemah.
"Jadi, ekspektasi di masyarakat bahwa laki-laki tidak menjadi korban," kata Livia seperti dikutip dari Antara, Jumat 3 September 2021. Sementara korban pelecehan atau kekerasan seksual perempuan juga sulit karena kerap disalahkan.
Lantaran konstruksi sosial yang menstigma lelaki harus kuat, pencari nafkah, dan pelindung keluarga, maka pria yang menjadi korban pelecehan seksual tidak percaya kalau dia tertindas. "Laki-laki juga sangat sulit untuk bisa melaporkan dan mendapat validasi atas peristiwa yang dialaminya," kata Livia.
Konstruksi sosial itu mengakibatkan beban psikologis seorang pria yang menjadi korban pelecehan seksual menjadi berlapis. Penyintas juga sulit terlepas dari dari situasi 'beracun'. Semua ini akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis korban karena dia memikul tanggung jawab yang besar, baik kepada diri sendiri, istri, anak, dan keluarga besar.
Livia menjelaskan, bullying dan pelecehan seksual sama-sama mengakibatkan seseorang merasa tidak berdaya dan kehilangan rasa percaya diri. Dampaknya bisa membekas selama bertahun-tahun dan sangat negatif. Data LPSK menunjukkan sangat jarang laki-laki penyintas kekerasan seksual yang melapor, entah yang terjadi pada lingkup keluarga, sekolah, perguruan tinggi, tempat ibadah, hingga tempat kerja.
"Saya belum pernah mendampingi laki-laki dewasa yang menjadi korban kekerasan seksual," katanya. Meski begitu, pernah ada pria dewasa yang melaporkan pelecehan seksual yang dia alami ketika masih anak-anak. Artinya, Livia melanjutkan, butuh waktu lama hingga penyintas berani membuka kasusnya, berkonsultasi kepada profesional, dan memulihkan diri.
Livia mengaku punya klien yang baru sanggup menceritakan kekerasan seksual yang dia alami setelah 20 sampai 30 tahun kemudian. Selain karena konstruksi sosial tadi, mengungkap bullying atau kekerasan seksual ini sama seperti membuka luka lama dan berpotensi membuka trauma berikutnya.
"Bayangkan berapa kali penyintas harus mengulang cerita trauma yang sama," katanya. Dimulai dari saat bercerita kepada keluarga atau teman dekat, melapor ke polisi, belum lagi saat diminta keterangan kembali. "Saya sangat menghargai keberanian para penyintas yang mau melaporkan dan mencari keadilan walaupun jalannya berliku."
Sebab itu, Livia menambahkan, para penyintas bullying dan pelecehan seksual ini perlu memiliki supporrt system yang mumpuni. Jangan sampai kemudian penyintas merasa membenci diri sendiri, kemudian diam, dan menanggung trauma sendirian.
Baca juga:
Kasus KPI: Berapa Tahun Penjara Ancaman Hukuman Pidana Pelaku Pelecehan Seksual?