TEMPO.CO, Jakarta - Kemarahan adalah bentuk emosi yang wajar dan sehat untuk melindungi, membantu melepaskan stres, dan dapat memunculkan kata-kata dan perasaan yang mungkin perlu diungkapkan untuk membantu pertumbuhan sebuah hubungan. Tetapi cara orang menangani perasaan marah dapat membawa hasil yang berbeda.
“Tidak ada yang salah dengan kemarahan, yang penting apa yang dilakukan dengannya,” kata Dr. Joseph Shrand, instruktur psikiatri di sekolah Kedokteran Harvard dan penulis Outsmarting Anger:7 Steps for Defusing Our Most Dangerous Emotion, seperti dilansir dari Today.
Sangat membantu untuk memahami mengapa orang marah. Dalam hubungan manusia, kemarahan adalah emosi yang muncul ketika merasa kita telah dianiaya atau diperlakukan dengan buruk.
“Ini adalah panggilan untuk bertindak, untuk memperbaiki yang salah. Namun, ketika menyerah pada dorongan pertama, kita biasanya memperburuk keadaan.” kata Gary Chapman, penulis The 5 Love Languages.
Shrand memiliki pendapat serupa. “Kita merasa marah karena ingin sesuatu yang berbeda. Kita berharap orang akan berhenti melakukan sesuatu atau mulai melakukan sesuatu,” katanya.
Baca Juga:
Dia menjelaskan ketika marah, bagian otak yang bertugas mengelola respons emosional yang dikenal sebagai sistem limbik, siap untuk bertarung. Dalam keadaan seperti itu, kita bisa menjadi impulsif, irasional, dan menyerang tanpa berpikir.
"Kemarahan adalah bagian dari respons melawan-atau-lari otak, jadi itu ada hubungannya dengan naluri bertahan hidup kita," kata Stephen Dansiger, dokter desensitisasi dan pemrosesan ulang gerakan mata dan penulis Mindfulness for Anger Management.
Dia menggambarkan beberapa respons fisiologis tubuh saat marah, yakni peningkatan denyut jantung, ketegangan otot, berkeringat, pendengaran dan penglihatan yang meningkat. Lalu, apa yang harus dilakukan dengan kemarahan?
Cara terbaik untuk mengatasi kemarahan, kata para ahli, adalah dengan meredakannya. Itu berarti melakukan apapun untuk mengingatkan otak sebenarnya tidak ada ancaman atau keadaan darurat dan inilah saatnya untuk tenang.
“Ada banyak penelitian tentang cara menenangkan dan melatih kembali sistem saraf,” kata Dr. Laura Markham, psikolog klinis dan penulis Peaceful Parent, Happy Kids: How to Stop Yelling and Start Connecting.
Dia menyarankan teknik seperti menjalankan tangan di bawah air dingin, mengambil napas dalam-dalam, menghirup udara segar, bersenandung, menggoyangkan pergelangan tangan, menghitung mundur dari 100 sampai Anda mulai merasa tenang kembali, atau bahkan memaksakan tawa atau senyuman untuk mengelabui otak.
“Ini semua adalah cara yang didukung penelitian untuk menenangkan diri pada saat ini,” jelasnya.
Teknik lain yang disarankan Shrand adalah meletakkan telapak tangan di dahi. “Tepat di belakang dahi adalah korteks prefrontal, bagian dari otak yang bertanggung jawab untuk pemikiran rasional,” ujarnya.
Menyentuh daerah itu, mengingatkan otak untuk menjaga reaksi frontal (logis), dan limbik (emosional). Menyadari kemarahan juga membantu.
“Masalah kemarahan dapat dihindari dengan menggunakan skala perhatian 1 sampai 10 untuk sesekali memeriksa tingkat kemarahan,” tutur Dansiger.
Melakukannya mengalihkan otak dari respons emosional ke respons logis dengan cara yang sama seperti yang dilakukan telapak tangan di dahi. Menetapkan angka pada kemarahan juga dapat membantu mengenali apakah Anda benar-benar marah, hanya kesal, atau bereaksi berlebihan. Chapman menawarkan ide ini, saat pasangan saling marah.
“Cukup gunakan tanda time out yang digunakan wasit dalam pertandingan olahraga,” katanya.
Itu memberi sinyal kepada orang lain dan diri sendiri bahwa kita perlu istirahat sebentar. Lagi pula, terkadang hal terbaik yang harus dilakukan saat sedang marah adalah pergi selama beberapa menit.
“Saat pergi, saya tidak lagi memanaskan situasi dan begitulah sebagian besar kemarahan keluar dari kendali, melalui eskalasi individu atau timbal balik,” jelasnya.
Baca juga: Sering Marah-marah Bisa Memicu Stroke, Diabetes dan Penyakit Jantung