TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Sosiologi Fisipol UGM, Wahyu Kustiningsih. menyebutkan perempuan merupakan kelompok yang rentan terjerat pinjaman online atau pinjol.
“Kenapa perempuan? Karena di masa normal saja perempuan sudah rentan dan pandemi semakin menambah beban perempuan,” tuturnya, Kamis 7 Oktober 2021.
Wahyu mengatakan kondisi yang menyebabkan perempuan kerap terjerat pinjol, terutatama ibu rumah tangga yang harus menerima kenyataan suaminya yang bekerja di sektor informal menurun pendapatannya. Sementara itu kebutuhan hidup terus meningkat.
“Selain mengurus domestik perempuan juga mendamping anak sekolah dari rumah dan belum lagi kalau yang juga bekerja. Di sisi lain suami pendapatannya menurun akibat pandemi dan ada yang kena PHK, sementara kebutuhan tidak menurun tetapi terus naik,” paparnya.
Terlebih lagi perempuan yang tinggal di pedesaan, pinjol menjadi jalan pintas bagi mereka. Pinjol menjadi pilihan karena memberikan pinjaman dengan persyaratan dan ketentuan yang mudah dan cepat proses pencairan dananya.
Berbeda dengan mengambil pinjaman di bank memiliki persyaratan dan proses pengajuan yang tergolong rumit dan memakan waktu panjang. “Dalam kondisi keterdesakan ekonomi yang dipilih masyarakat jalan pintas untuk menyambung hidup,” katanya.
Perempuan yang terjerat pinjol, biasanya idak lepas dari stigma dari masyarakat. Beberapa stigma yang kerap muncul antara lain dianggap tidak mampu mengelola keuangan dengan baik, dianggap konsumtif, tukang utang dan lainnya. Stigma tersebut menjadikan perempuan korban pinjol tertekan hingga bunuh diri karena tidak kuat menahan malu.
Wahyu mengatakan adanya warga yang terjerat pinjol, menunjukan tidak berkerjanya sistem sosial atau supporting system di masyarakat. Di tengah desakan ekonomi mereka merasa sendiri dan buntu, namun masyarakat tidak memberikan dukungan.
Maka dari itu, perlu adanya supporting system yang kuat di lingkungan masyarakat. Masyarakat bisa memberi dukungan atau bantuan untuk menemukan solusi terhadap mereka yang menjadi korban pinjol. Untuk memperkuat supporting system ini masyarakat bisa menginisasi gerakan bersama menghadapi krisis saat pandemi termasuk persoalan ekonomi seperti pinjol.
“Semisal dengan membangun kelompok-kelompok usaha kecil. Kalau ini tidak dilakukan akan banyak yang tertekan sehingga solidaritas sosial penting,” urainya.
Di era teknologi saat ini, perempuan rentan menjadi korban tindak tindak kriminalitas, sebab hingga saat ini masih ada gap penguasaan teknologi diantara laki-laki dan perempuan. Perubahan aktivitas dari luring ke daring yang meningkat karena pandemic Covid-19, juga menjadi penyebab paparan masyarakat terhadap pinjol semakin besar.
Di sisi lain, kondisi tersebut belum diikuti dengan literasi dan edukasi yang baik bagaimana menggunakan teknologi secara bijak. Maka dari itu, penting dilakukan literasi digital untuk menekan risiko pinjol. Edukasi terkait dampak pinjol perlu diperkuat untuk menekan risiko munculnya korban-korban pinjol lainnya.
“Fenomena ini akan terus terjadi sehingga menjadi PR untuk bisa mendampingi masyarakat,” jelasnya.
Wahyu memaparkan pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pinjol dan melakukan inisiatif untuk melindungi masyarakat korban pinjol. Sebab mayoritas pinjol saat ini bersifat ilegal atau tidak terdaftar dan berizin Otoritas Jasa Keuangan.
“Masyarakat diharapkan juga bisa melakukan pengawasan, karena kekuatan terbesar di masyarakat melakukan pengawasan untuk melaporkan yang terjadi di lingkungannya,” pungkasnya.
WILDA HASANAH
Baca juga: Apa Dampak Jika Tak Bayar Pinjaman di Pinjol Legal?