TEMPO.CO, Jakarta - Pernah dengar ungkapan sabotase diri ketika berbicara tentang kencan dan hubungan? Faktanya, banyak yang masih tidak sepenuhnya yakin seperti apa itu sabotase diri, apa yang membuat menyabotase hubungan sendiri, bagaimana bisa melihat perilaku sabotase diri, dan yang lebih penting , bagaimana bisa berhenti terlibat di dalamnya.
Apa itu sabotase diri? Sabotase diri adalah pola perilaku yang menahan seseorang dari apa yang diinginkan atau butuhkan, dan biasanya perilaku ini sering muncul dalam hubungan cinta. Perilaku ini merugikan diri sendiri dan dapat mendatangkan malapetaka pada hubungan yang sehat.
Sayangnya, orang-orang yang terlibat terkadang bahkan tidak menyadari melakukannya. Orang yang menyabotase diri dalam hubungan terkadang dapat menemukan diri yang terus-menerus melajang atau tidak ada hubungan serius yang bertahan karena perilaku ini.
Kita tahu, hubungan yang bertahan melalui perilaku sabotase sering kali membuat hubungan tersebut tidak sehat. Melansir Now to Love, sabotase diri dalam hubungan seringkali merupakan mekanisme pertahanan, sesuatu yang digunakan seseorang disadari atau tidak untuk melindungi diri dari rasa sakit. Anda mungkin pernah mengalami patah hati atau trauma di masa lalu dan berusaha mencegah hal itu terjadi lagi, atau mungkin takut membuka diri terhadap rasa sakit jika hubungan itu tidak berhasil.
Perilaku ini hampir selalu didorong oleh rasa takut, tetapi mungkin sulit untuk mengenali atau mengidentifikasinya dalam suatu hubungan karena perilaku itu bukan satu kali tetapi tersebar di banyak momen dan interaksi yang berbeda. Tentunya, perilaku ini seringkali berujung pada perpisahan, atau bahkan tidak pernah dimulai sejak awal. Tetapi, dalam pikiran penyabotase diri, ini merupakan situasi yang saling menguntungkan.
Jika hubungan tersebut kandas, Anda mendapatkan bukti Anda benar untuk melindungi diri sendiri dengan menyabotase hubungan. Jika hubungan tersebut berhasil, Anda merasa menang karena berhasil meski dengan cara sabotase.
Bagaimana kita bisa mengidentifikasi sabotase diri? Menurut penelitian dari Universitas Queensland Selatan yang dibagikan dalam The Conversation, ada tiga pola utama yang diikuti oleh orang-orang yang menyabotase diri dalam hubungan. Pola-pola ini adalah defensif, masalah kepercayaan, dan keterampilan hubungan yang buruk.
Defensif
Menemukan diri memasang tembok dalam hubungan bisa menjadi pembelaan diri, yang seringkali terasa naluriah sampai pada titik di mana beberapa orang tidak menyadari mereka melakukannya. Mereka yang terlibat dalam pola perilaku defensif biasanya ingin melindungi diri dari ancaman yang dirasakan, seperti patah hati, penolakan, pengabaian, kritik, atau hal lain dalam hubungan.
Masalah kepercayaan
Ini sering bermanifestasi sebagai rasa takut menjadi rentan atau jujur serta kecemburuan atau ketidakpercayaan terhadap pasangan, seperti salah satu pasangan yang selalu menganggap yang lain selingkuh meskipun tidak ada bukti apapun. Mereka yang berjuang dengan ini di masa lalu sering mengalami pengkhianatan atau kepercayaan dilanggar dan takut hal itu kembali terjadi. Jadi, mereka memilih untuk tidak percaya dan menutup diri dari hubungan dan pasangan.
Kurang pengalaman
Beberapa orang mungkin hanya kurang pengalaman atau keterampilan yang didapat melalui hubungan yang sehat, dan ini dapat dengan cepat menyebabkan sabotase diri. Karena memiliki pengalaman positif yang terbatas untuk diambil, hubungan dapat terasa berlebihan dan banyak orang yang terlibat dalam pola ini akan menutup diri dari hubungan sepenuhnya.
Lalu, bagaimana menghentikan perilaku ini? Apapun masalahnya, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi masalah, lalu mulai bekerja untuk mengatasinya. Bagi yang menyabotase diri, Anda mungkin dapat memulainya dengan mendapatkan wawasan yang jujur tentang pola perilaku apa yang ditunjukkan dan mengapa terus terlibat di dalamnya.
Selain itu, Anda juga dapat memeriksa apa yang diharapkan dari hubungan dan pasangan dan apakah itu berkontribusi pada sabotase diri. Misalnya, mengharapkan pasangan untuk memberi akses ke semua perangkatnya karena masalah kepercayaan mungkin tidak masuk akal. Melibatkan pasangan juga penting karena ia dapat membantu mengidentifikasi dan mengatasi perilaku yang mungkin menyabotase hubungan. Jika ternyata cara ini tidak membantu, Anda bisa mendapatkan bantuan dari luar seperti terapis, psikolog, dan lainnya.
Baca juga: Sinyal Anda Cuma Cadangan buat Pasangan