TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis paru konsultan onkologi dan anggota Pokja Onkologi Toraks PDPI, Sita Laksmi Andarini, mengatakan orang yang berisiko tinggi terkena kanker paru sebaiknya segera melakukan pemeriksaan skrining atau deteksi dini guna mencegah kejadian kanker stadium lanjut.
“Bulan ini bertepatan dengan Lung Cancer Awareness Month. Saya mengajak seluruh masyarakat untuk peduli kanker paru, artinya ada tindakan skrining dan deteksi dini kanker paru,” kata Sita dalam webinar “Urgensi Pasien Kanker Paru terhadap Akses Pengobatan Inovatif”, Selasa, 23 November 2021.
Sita mengatakan orang berisiko tinggi terkena kanker paru di antaranya laki-laki di atas 45 tahun, perokok maupun yang sudah berhenti merokok kurang dari 10 tahun, perokok pasif, memiliki riwayat genetik serta riwayat fibrosis paru. Selain itu, para pekerja di pertambangan, pabrik semen, pabrik kaca, atau jenis pekerjaan lain yang berpotensi menghirup paparan silika juga perlu memeriksakan kondisi paru-paru.
“Kalau belum ada gejala maka skrining atau periksakan diri. Kalau ada gejala seperti batuk, batuk darah, nyeri dada, sesak napas yang belum membaik dalam dua minggu, segera rujuk untuk CT scan toraks untuk deteksi dini kanker paru,” ujarnya.
Ia juga mengimbau agar pasien tetap waspada apabila hasil pemeriksaan menunjukkan negatif tuberkulosis sebab kemungkinan kanker paru masih tetap ada.
“Deteksi dini kanker paru juga harus bersamaan dengan deteksi tuberkulosis supaya dapat ditemukan lebih awal dan wajib dirujuk untuk dilakukan CT scan,” ujarnya.
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Elang Samoedro, mengatakan hingga saat ini tingkat skrining untuk deteksi dini di Indonesia belum merata dan menyeluruh karena masih terpusat di kota-kota besar dan belum menyentuh ke daerah terpencil.
“Beberapa modalitas seperti kemoterapi, terapi target, radioterapi, bahkan hanya ada di kota-kota besar yang mungkin akses masyarakat yang di daerah perifer agak sulit,” katanya.
Elang juga menggarisbawahi pentingnya pemerataan akses pengobatan kanker paru mengingat saat ini hanya penderita kanker paru tipe Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) positif saja yang masuk dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sementara itu, Sita menyebutkan tata laksana diagnosis, biopsi, serta beberapa tindakan pengobatan kanker paru memang telah terkover BPJS, namun untuk Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK) positif, ROS1 positif, serta imunoterapi belum terkover oleh BPJS.
“Mungkin ke depan kami mengharapkan pemerintah untuk bisa lebih memperhatikan supaya bisa terkover obat-obatan tersebut,” tuturnya.
Ia juga berharap adanya keterbukaan akses yang lebih banyak terhadap obat-obatan generik untuk terapi target maupun imunoterapi sehingga dapat memudahkan proses terapi bagi penyintas kanker paru.
Baca juga: Perlunya Deteksi Dini Kanker Paru untuk Memperbesar Harapan Hidup