TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian orang mungkin menjadi workaholic. Apakah hal ini berdampak buruk?
Dikutip dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA). istilah workaholism diciptakan psikolog Wayne Oates pada 1971 yang menggambarkan workaholism sebagai kecanduan kerja berupa paksaan atau kebutuhan tak terkendali untuk terus-menerus bekerja. Sementara pelakunya dikenal dengan sebutan workaholic.
Baca Juga:
“Obsesi ini tidak hanya terbatas pada tugas-tugas profesional tetapi orang-orang ini terus-menerus menyibukkan diri. Tidak ada yang seperti ‘waktu luang’ dalam kamus mereka,” tulis dokter di Rumah Sakit SRV Mumbai, Aradhya Binju, dalam laman tanya jawab Quora.
Melansir dari Britannica, umumnya workaholism ditandai dengan jam kerja berlebihan, baik di dalam atau di luar tempat kerja, dengan terus-menerus memikirkan pekerjaan, yang tidak terkait dengan tuntutan tempat kerja yang sebenarnya.
Sebagian orang mungkin melihat workaholism adalah prasyarat untuk sukses. Namun, konsekuensinya sebagian orang akan kesulitan melepaskan diri dari pekerjaan, bahkan ketika diberi kesempatan untuk melakukannya.
Binju melanjutkan, workaholism dalam jangka waktu yang lama berisiko meningkatkan penyakit berikut:
- obesitas;
- diabetes mellitus;
- hipertensi;
- gangguan obsesif kompulsif;
- insomnia;
- kecanduan, seperti kecanduan alkohol atau merokok untuk tetap bekerja lebih banyak;
- gangguan hiperaktif seperti ADHD;
- sindrom kelelahan kronis.
Selain berdampak buruk pada kesehatan, Binju menyebut workaholism juga dapat mempengaruhi hubungan sosial. Ini karena mereka tidak dapat menghabiskan cukup waktu dengan keluarga.
Selain itu, workaholism berdampak buruk bagi kesehatan mental. APA mengatakan orang yang workaholic tampak mengalami emosi negatif yang terpisah. Emosi itu adalah rasa bersalah, kecemasan, kemarahan dan kekecewaan yang dirasakan baik di tempat kerja atau di rumah.
Seorang workaholic dilaporkan merasa kurang percaya diri dan kurang riang di tempat kerja. Sebuah taksonomi kesejahteraan terkait pekerjaan yang disajikan Schaufeli pada 2013 juga menemukan pekerja workaholic mengalami emosi teraktivasi yang tidak menyenangkan, seperti jengkel, bermusuhan, dan tegang.
Seorang workaholic juga dikaitkan dengan gangguan kejiwaan, termasuk kecemasan, attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), depresi, dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD).
Itulah beberapa dampak buruk workaholic. Bekerja terus-menerus memang dapat membuat seseorang mengalami kelelahan fisik, emosional, dan mental yang bisa berdampak buruk bagi kondisi fisik dan kejiwaan, serta hubungan sosialnya.
AMELIA RAHIMA SARI
Baca juga: Suka Lembur, Termasuk Pekerja Keras atau Workaholic?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.