TEMPO.CO, Jakarta - Burnout pada karyawan terjadi akibat kelelahan yang berlebihan dan dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya beban kerja yang terlalu banyak. Country Marketing Manager JobStreet Indonesia, Sawitri Hertoto, membagikan tips bagi perusahaan untuk menghindari kelelahan mental, emosional, dan fisik (burnout) pada karyawan di tengah tantangan percepatan transformasi digital.
"Perusahaan atau manajer perlu mengevaluasi secara berkala workload dari setiap anak buahnya. Dari situ kita harus melakukan redistribusi pekerjaan," kata Sawitri.
Baca Juga:
Tidak hanya itu, burnout juga bisa dipicu tidak tersedianya alat penunjang kerja yang memadai, yang bisa memenuhi kebutuhan untuk mempermudah karyawan menyelesaikan pekerjaan dengan efisien dan cepat. Oleh sebab itu, ia menyarankan perusahaan meninjau dan memperbaiki alat penunjang kerja secara berkala. Contoh, perusahaan perlu menggunakan alat komunikasi antarpekerja yang memiliki basis dan sifat untuk kepentingan bisnis.
"Kalau kita menggunakan messenger yang memang dibangun untuk bisnis, maka itu tentunya akan menyelesaikan banyak hal, seperti untuk menyimpan data di cloud," ujarnya.
Untuk menghindari burnout, perusahaan perlu mendorong atau memberikan waktu untuk karyawan berhenti sejenak dari agenda tertentu. Perusahaan juga harus harus mendorong pegawai menetapkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan di jam kerja. Contoh perusahaan atau manajer memberikan keringanan bagi pegawai yang terus menerus melakukan rapat virtual sehingga bisa memiliki waktu untuk mengerjakan tugas sesuai dengan jam kerja yang telah ditetapkan.
"Sejak pandemi, kita banyak melakukan work from home (WFH). Meeting itu seperti tidak habis-habis dan tidak ada jeda. Akhirnya, kita mengerjakan pekerjaan setelah jam kerja," ujarnya.
Sawitri mengatakan kondisi pandemi COVID-19 telah mengubah dunia usaha secara dramatis melalui peningkatan otomatisasi dan digitalisasi. Perusahaan juga banyak yang melakukan percepatan transformasi digital agar tidak kalah bersaing. Kondisi ini memicu jam kerja yang semakin panjang pada karyawan.
"Ini juga ada di laporan Jobstreet bahwa dengan adanya WFH dan kebutuhan transformasi, ternyata 50 persen menyatakan bahwa pekerjaan mereka itu semakin banyak dan semakin lama cara kerjanya. Akhirnya terjadi kelelahan luar biasa, burnout pada talent memicu the great resignation," katanya.
The great resignation merupakan fenomena yang menggambarkan pengunduran diri pekerja secara besar-besaran yang meluas selama pandemi berlangsung. Dalam fenomena tersebut, Sawitri mengatakan banyak pekerja yang mulai memikirkan keseimbangan kehidupan pekerjaan, tujuan karier, hingga tujuan hidup yang mengubah cara pandang sehingga memutuskan untuk mundur atau beralih pada pekerjaan lain.
"The great resignation itu juga dihadapi oleh banyak perusahaan di Indonesia. Malahan ada perusahaan yang terus-menerus setiap bulan itu cari talent karena turnover-nya relatif tinggi," tuturnya.
Baca juga: Waspada Parental Burnout, Jangan Lupa Tetap Lakukan Me Time