Pada kesempatan yang sama, Diah Ayu Puspandari menjelaskan, untuk mengatasi masalah keterbatasan biaya kesehatan, pemerintah perlu segera mencari solusi strategis, salah satunya dengan mengoptimalkan sumber-sumber dana yang ada untuk dialokasikan ke sektor kesehatan.
Ilustrasi Kanker. shutterstock.com
Ia mengatakan sebenarnya pemerintah sudah mulai menerapkan hal ini dengan mengalokasikan sebagian dari pajak rokok dan cukai tembakau yang diterima pemerintah daerah untuk sektor kesehatan. Namun, di tahun 2021, alokasi dana untuk sektor kesehatan tersebut turun dari 50 persen menjadi 25 persen. “Kami berharap Pemerintah Pusat dapat merealokasi kembali dana untuk sektor kesehatan menjadi 50 persen atau memberikan fleksibiltas penggunaan dana pajak rokok dan cukai tembakau untuk pengembangan sektor kesehatan di tingkat daerah,” katanya,
Diah pun merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyusun panduan teknis inovasi penggunaan pajak rokok dan cukai tembakau di sektor kesehatan. “Misal untuk optimalisasi pembelanjaan obat dan alat kesehatan termasuk obat inovatif kanker yang pada akhirnya akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat yang kita layani,” katanya.
Putih Sari, menambahkan, pemerintah perlu meninjau kembali tujuan awal Program Jaminan Kesehatan Nasional, yaitu untuk mencapai cakupan kesehatan semesta. Tujuan JKN itu, kata Putih, tidak hanya berbicara tentang cakupan jumlah kepesertaan, tapi juga cakupan layanan yang diberikan yaitu dapat menjamin akses ke layanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Perlu juga memikirkan pemberian layanan yang berkualitas dan efektif tanpa menimbulkan beban biaya individu. “Kami mendorong Kementerian Kesehatan RI dan seluruh pihak terkait untuk mempermudah akses obat inovatif kanker dalam program JKN, terutama untuk kanker paru yang paling mematikan,” katanya.
Ia pun mendorong pemerintah untuk menerapkan inovasi pembiayaan kesehatan sehingga perluasan terhadap akses pengobatan inovatif kanker tidak terbentur masalah keterbatasan biaya. Salah satu inovasi pembiayaan yang dapat dijajaki dalam waktu dekat adalah dengan membuka ruang kolaborasi yang lebih luas dengan berbagai pihak, antara lain produsen obat dan asuransi swasta. “Misal dengan menyediakan beberapa skema harga dalam program JKN seperti yang sebelumnya pernah diterapkan untuk obat kanker melalui sistem risk sharing atau mekanisme inovatif lainnya,” katanya.
Aryanthi Baramuli, mengatakan bahwa banyaknya pasien kanker berusia produktif juga menjadi ‘alarm’ kita bersama terkait pentingnya kemudahan akses pengobatan sehingga memberikan kesempatan bagi pasien untuk menjalani hidup yang lebih berkualitas.
Ia mengakui Program JKN memberikan jalan bagi para penyintas kanker untuk berjuang melawan penyakit mematikan itu. Walau begitu, masih beberapa keterbatasan yang ia temui. “Bagi kami para pasien, dukungan dari seluruh pihak untuk peningkatan layanan kesehatan dan pengobatan kanker untuk menjadi lebih baik secara kualitas tentu akan sangat bermakna,” katanya.
Ia berharap rekomendasi terkait inovasi pembiayaan kesehatan ini dapat membawa dampak besar bagi para pasien dan keluarganya. “Terutama untuk menurunkan angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup para penyintas kanker,” ujarnya.