TEMPO Interaktif, Jakarta: Mendengar kata induksi persalinan, Yani, 39 tahun, langsung bergidik. Ibu dua anak ini, enam tahun lalu harus menjalaninya. Plasentanya "berbalapan" dengan janin. Kalau terlambat, menurut sang dokter, operasi caesar pun harus dijalaninya. Ia juga harus merasakan mulas yang tak henti-henti sekitar 6-7 jam hingga si jabang bayi keluar.
Persalinan serupa juga dilakoni rekan sekantornya, Anne, 32 tahun, karena kasus gawat janin. Hanya, keberhasilan tak berpihak pada perempuan Jawa ini. Setelah "menikmati" rasa nyeri hebat, ia tak bisa juga melahirkan secara normal karena pembukaannya tak kunjung beranjak lebih lebar. Walhasil, ia pun menjalani pembedahan caesar.
Bila kedua ibu itu punya alasan jelas untuk proses induksi, tak demikian dengan Ratih (bukan nama asli), 29 tahun. Walau kontraksinya semakin kuat, ia tetap diinduksi dengan infus oksitosin oleh dokter. Untuk itu, dia diharuskan membayar tambahan biaya Rp 1 juta, di luar obat dan kamar, yang mencapai Rp 4 juta.
Nun jauh di daratan Eropa, persalinan induksi ternyata banyak dilirik para ibu yang ingin segera melahirkan tanpa menjalani rasa mulas yang kadang berhari-hari. Hal itu terlihat dari hasil studi Universitas Aberdeen, Skotlandia, baru-baru ini. Pada 17 ribu kelahiran rentang 1999-2003, ditemukan lebih dari seperempat kasus induksi dilakukan tanpa alasan medis atau penjelasan lain-sesuai prosedur klinis. Teridentifikasi, sebanyak 5.700 atau 32 persen perempuan hamil di sana telah disarankan tenaga kesehatan menjalani induksi.
Kepala Penelitian di National Childbirth Trust, Mary Newburn, mengatakan, angka bersalin dengan induksi ini signifikan dan merupakan masalah serius yang harus dibenahi. "Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengidentifikasi alasan melahirkan dengan induksi," ujarnya seperti dilansir BBC.
Lazimnya, induksi dilakukan karena kehamilan telah masuk tempo, bahkan lebih sembilan bulan (lebih 42 minggu). Selain itu, dengan pertimbangan faktor kesehatan sang ibu, misalnya infeksi serius atau menderita diabetes. Kemudian, ukuran janin terlalu kecil. Lalu, membran ketuban pecah sebelum ada tanda awal persalinan. Lantas tindakan induksi juga dilakukan saat plasenta keluar duluan sebelum bayi.
Dijelaskan Newburn, kelahiran dengan induksi cenderung lebih sakit. Di Inggris, metode umum induksi dilakukan dengan penggunaan gel yang berisi prostaglandin untuk membuat kontraksi sebelum proses melahirkan. Prostagladin ini merangsang otot polos termasuk juga otot rahim.
Juru bicara Royal College bidang kebidanan, Sue Macdonald, menekankan, sangat penting bagi seorang perempuan mengetahui alasan induksi dilakukan. "Kami terus mendukung kelahiran normal dan memastikan sebuah proses induksi hanya dilakukan ketika itu benar-benar diperlukan," ia menegaskan.
Dari dalam negeri, Dr Ali Sungkar, Sp.OG, Subbagian Fetomaternal Bagian Kebidanan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, mengatakan, tindakan induksi harus memiliki kriteria klinis. Sebaiknya juga dilakukan pada usia kehamilan minimal 39 minggu. Diketahui, pada usia 38 hingga 42 minggu adalah masa cukup bulan bagi bayi untuk dilahirkan.
"Selain itu, mulut rahim harus telah matang dan posisi bayi sudah di rongga panggul," ujar Ali saat dihubungi Tempo lewat telepon selulernya, pekan lalu. Pengertian mulut rahim matang, yaitu permukaan mulai lunak dan arahnya ke depan. Namun, terkadang metode ini juga tak menjamin berhasil. "Ada sekitar 20 persen yang gagal," katanya.
Hal itu dibenarkan Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Hermina Bekasi, Marly Susanti, yang mengatakan bahwa kegagalan itu tergantung nilai bishop dari mulut rahim. "Bila nilainya di bawah 5, kemungkinan besar gagal," katanya saat dihubungi Tempo, pekan silam. Adapun nilai bishop sendiri adalah standardisasi obyektif pasien dengan persalinan induksi. Faktornya dilihat dari pembukaan, pendataran, konsistensi dan posisi serviks, serta penurunan kepala bayi.
Lebih jauh, proses induksi memiliki dua cara, yaitu kimia dan mekanik. Substansinya, kedua cara ini dilakukan untuk membuang zat prostaglandin yang membuat otot rahim berkontraksi. Secara kimia, sang ibu akan diberi obat-obatan khusus, dengan diminum, dimasukkan ke vagina, diinfus, dan disemprotkan pada hidung. Sedangkan secara mekanik biasanya dilakukan menggunakan metode vibrator, stripping, serta memecahkan ketuban.
Patut diingat, proses induksi ini memiliki sejumlah risiko bagi bayi dan sang ibu. Menurut dr Damar Prasmusinto, SpOG, dari Divisi Fetomaternal Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat percobaan pertama induksi gagal, lalu bakal dinaikkan dosisnya. Hal itu bisa mengancam hidup janin. "Bayi bisa mengalami gawat janin dan stres," ujarnya kepada Tempo via telepon genggamnya, akhir pekan lalu.
Saat itu, keselamatan ibu dipertaruhkan. Selain memicu emboli (masuknya sesuatu yang tak larut ke dalam pembuluh darah), induksi dapat merobek rahim. "Namun, ini jarang sekali," ujar Damar. Yang jelas, kontraksi induksi memang kemungkinan lebih sakit karena dimulai mendadak. Tetapi, lebih patut diingat, induksi merupakan jalan keluar untuk menghindari komplikasi yang lebih berbahaya, seperti gawat janin atau bayi yang lahir terlalu besar. Cara ini juga sejatinya merupakan langkah medis buat mempermudah keluarnya bayi dari rahim menjadi "normal".
HERU TRIYONO
Boks Risiko Induksi1. Terjadi kontraksi rahim berlebihan.
2. Dapat membuat bayi mengalami gawat janin (bayi stres).
3. Merobek bekas jahitan operasi Caesar.
4. Air ketuban pecah dan masuk ke pembuluh darah, yang berisiko menyangkut di otak ibu atau paru-paru (emboli).