TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah perokok di Tanah Air masih tinggi. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pun mendukung lahirnya regulasi berbasis kajian ilmiah untuk produk tembakau alternatif guna melindungi konsumen sekaligus menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.
Anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, Arief Safari, menjelaskan regulasi berbasis kajian ilmiah itu akan melengkapi strategi pengurangan angka perokok yang sudah ada, yakni kawasan bebas rokok, gambar peringatan kesehatan, larangan iklan, dan berbagai promosi kesehatan.
"Oleh karena itu perlu adanya pendekatan berbeda dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mengedepankan produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan sebagainya,” kata Arief.
Arief menjelaskan apabila hasil kajian ilmiah terbukti efektif mengurangi risiko perokok, pemerintah dapat menyusun regulasi sesuai hasil temuan tersebut. Hal itu bertujuan untuk memberi perlindungan bagi konsumen. Dalam perumusan regulasi, Arief menyarankan pemerintah melibatkan seluruh pemangku kepentingan lain atau membentuk tim satuan tugas di tingkat kementerian lintas sektoral sesuai kebutuhan.
"Tim itu akan terus bekerja sampai regulasi tersebut sesuai dan diterbitkan,” ujarnya.
Baca Juga:
Selain itu, melalui kajian ilmiah ia berharap masyarakat mendapatkan informasi yang jelas terkait penggunaan produk tembakau alternatif yang berbeda dengan rokok konvensional.
“Penggunaan dari produk-produk alternatif ini harus diperkuat regulasi yang sesuai dengan kajian ilmiah sebagai basis. Jadi, harus dilakukan dulu uji profil risiko melalui sebuah penelitian,” ujar Arief.
Arief meneruskan aturan tersebut nantinya turut mencakup hak-hak konsumen. Kehadiran regulasi juga akan mencegah terjadinya penyalahgunaan produk ini.
“Dengan hadirnya regulasi berbasis ilmiah, prevalensi merokok di Indonesia dapat ditekan. Perlu diakui produk ini tidak sepenuhnya bebas risiko namun dapat dikedepankan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut karena memiliki risiko lebih rendah hingga 95 persen daripada rokok,” ujarnya.
Sebagai langkah awal, pemerintah dapat menggunakan hasil kajian ilmiah yang telah dilakukan di berbagai negara, seperti riset yang dilakukan Public Health England dari Inggris, sebagai landasan dalam perumusan regulasi. Meski demikian, pemerintah diminta juga melakukan riset tersendiri guna membandingkan risiko antara produk tembakau alternatif dan rokok sebab kondisi perokok di Indonesia berbeda dengan negara lain.
“Penelitian ini penting agar tidak timbul rumor yang beredar tanpa dasar ilmiah yang akhirnya dianggap sesuatu kebenaran sehingga bisa jadi kontraproduktif terhadap upaya pemerintah dalam mengurangi dampak rokok,” katanya.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Satria Aji Imawan, mendukung peraturan khusus bagi produk tembakau alternatif untuk mendorong peralihan yang didukung bukti ilmiah bahwa produk alternatif memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok. Hadirnya regulasi juga mempermudah pemerintah untuk mengoptimalkan potensi produk tersebut dalam menangani masalah rokok di Indonesia.
"Regulasi harus segera diformulasikan berdasarkan pada data lapangan terkait bagaimana perilaku orang merokok, bagaimana hasil kajian terhadap pengurangan risikonya, dan sebagainya. Dalam prosesnya, pemerintah perlu mempertimbangkan masukan semua pihak, termasuk dari kalangan konsumen,” ujarnya.
Baca juga: Fakta tentang Nikotin yang Anda Perlu Pahami