TEMPO.CO, Yogyakarta - Dokter Spesialis Paru, Erlina Burhan mengatakan, sebagian masyarakat kerap menganggap remeh penyakit tuberkolusis atau TBC. Terlebih sejak pandemi Covid-19, perhatian dunia jadi terfokus pada penanganan virus corona dan pencegahannya.
Dalam acara G20 tentang "Pembiayaan untuk Penanggulangan Tuberkulosis: Mengatasi Disrupsi Covid-19 dan Membangun Kesiapsiagaan Pandemi di Masa Depan", Erlina Burhan mengatakan masyarakat belum terlalu mengenal TBC seperti Covid-19. Padahal, dua penyakit tersebut sama-sama berbahaya dan mematikan. Dia berpendapat, tiada upaya yang sama besarnya antara penanganan tuberkulosis dengan Covid-19.
"TBC tidak diperhatikan selama pandemi," kata Erlina Burhan yang menjabat Dewan Pembina Stop TB Partnership Indonesia di Hotel Hyatt Yogyakarta, Rabu, 30 Maret 2022. Dia mencontohkan pada testing TBC, para ahli bekerja tidak seperti testing Covid-19 yang dilakukan secara masif.
Pengetesan tuberkulosis di lapangan, menurut dia, masih sangat kurang. Sebagian pasien TBC juga kesulitan mendapatkan layanan obat di rumah sakit. Bahkan sampai ada pasien yang resisten terhadap obat. Selama pandemi Covid-19, masyarakat enggan datang ke fasilitas kesehatan meski mereka terkena TBC.
Mereka takut datang ke rumah sakit karena ada kemiripan gejala TBC dengan Covid-19. Tenaga kesehatan terhambat untuk mendatangi pasien satu per satu. Dampaknya, kontrol pelayanan kesehatan rendah atau tidak memadai, sehingga sulit mendiagnosis pasien TBC.
Pada 2020-2021 kasus TBC turun. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus tuberkulosis yang terdeteksi melalui layanan kesehatan menurun, yakni 402.502 kasus atau 49 persen kasus. Untuk mengatasi penularan membutuhkan upaya ekstra dari komunitas masyarakat.
Guna mempercepat eliminasi TBC, pemerintah melakukan skrining x-ray secara mobile ke sejumlah daerah. Indonesia termasuk negara yang menduduki posisi ketiga di dunia sebanyak 824 ribu kasus dengan kematian 93 ribu atau 11 kematian per jam. Salah satu tantangan terberat selama pandemi adalah menemukan kasus TBC.
Erlina Burhan mendorong perhatian yang lebih serius terhadap pelacakan TBC, testing, dan perawatan agar pasien bisa mendapatkan penanganan yang baik. Bila pemerintah daerah dan petugas di fasilitas kesehatan tidak bekerja sama atau berkolaborasi, maka akan sulit menyembuhkan pasien TBC secara keseluruhan.
Dia juga mendorong penggunaan platform digital untuk melacak pasien TBC dengan lebih masif, seperti pada pelacakan pasien Covid-19. Selain platform digital, pemerintah, kata dia perlu menyiapkan infrastruktur kesehatan, inovasi diagnosis, dan testing. "Perlu kolaborasi yang kuat dari akademisi dan industri untuk mencegah penularan," kata dia.
Wakil Ketua Komisi Kesehatan Nasional dan Komisaris Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nasional Cina, Wang Hesheng mengatakan, deteksi TBC bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi digital secara mobile. Di Cina, seorang penderita TBC bisa menginfeksi 15 orang. Tingkat kematian pasien TBC tergolong tinggi setiap tahun karena ada resistensi terhadap obat. "TBC mengancam keamanan dan keselamatan secara global," kata Wang.
Baca juga:
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin Mendorong Investasi Dunia untuk TBC
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.