TEMPO.CO, Yogyakarta - Penyintas Tuberkolusis atau TB, Meirinda Sebayang berbagi kisah perjuangannya melawan penyakit mematikan tersebut selama bertahun-tahun.
Di depan forum internasional G20 bertajuk "Penanggulangan Tuberkolusis: Mengatasi Disrupsi Covid-19 dan Membangun Kesiapsiagaan Pandemi di Masa Depan" di Hotel Hyatt Yogyakarta, Meirinda Sebayang meminta komitmen politik dan langkah konkret dari negara-negara anggota G20 untuk mengatasi tuberkulosis. Ketua Jaringan Positif Indonesia itu memberikan masukan agar pemerintah melibatkan komunitas penyintas karena mereka yang mengetahui apa saja kebutuhan pasien TBC.
Baca Juga:
"Hilangkan stigma dan sedikan pelayanan berbasis kesetaraan gender," kata Merinda pada Selasa, 29 Maret 2022. Pelayanan kesehatan, menurut dia, seharusnya memberdayakan dan menghargai hak-hak dan kebebasan individu. Dia juga menekankan stigma terhadap penyintas juga menghambat penanganan TBC.
Perempuan berusia 44 tahun itu menceritakan pengalamannya terinfeksi bakteri TBC dan cara bangkit dari depresi secara lebih detail pada Rabu, 30 Maret 2022. Pada 2006, Merinda menjalani skrining x-ray dan dokter memvonis dia terkena TBC. Meirinda mengalami gejala berat badan turun dan berkeringat pada malam hari. Tubuhnya sangat lemah dan kondisinya semakin memburuk.
Meirinda kemudian datang ke sebuah klinik swasta di Bandung, Jawa Barat. Saat itu, dia tidak tahu tentang program nasional penanganan TBC. Satu hari, dia tidak sadarkan diri dan orang tua membawa Merinda ke rumah sakit. Rupanya ada pembengkakan kelenjar. Dokter menyerah hingga Meirinda harus berobat ke Bangkok. Di Indonesia, saat itu, belum tersedia Streptomycin, obat TBC.
Selain mengkonsumsi obat selama tiga hingga lima bulan, dia juga harus menjalani suntikan setiap dua hari sekali. Injeksi itu membawa efek samping hingga sekarang. "Saya mengalami gangguan pendengaran dan di sekujur tubuh muncul garis-garis seperti zebra," katanya.
Dampak lainnya adalah depresi dan dia terbayang-barang rasa takut menularkan penyakit ke orang di sekitarnya. Meirinda bangkit dari keterpurukan atas dukungan keluarga. Keinginan untuk cepat sembuh mendorong dia keluar dari depresi. Meirinda bertekad melawan TBC. Kini, dia aktif sebagai advokat TBC dan kerap diminta menyebarkan inspirasi dalam forum-forum nasional maupun internasional.
Ketua Yayasan Stop TB Partnership, Nurul H.W. Luntungan mengatakan, obat TBC membawa efek samping yang lebih berat sehingga perlu penanganan yang serius terhadap pasien penyakit ini. Dia menyebutkan, sebagian pasien TBC bahkan resisten terhadap obat. Pengobatan yang tidak tuntas menjadi penyebab terjadinya resistensi terhadap obat.
Di G20, Nurul mendorong penggunaan dana penanganan TBC secara efektif dan efisien untuk mencegah penularan tuberkulosis. Hingga kini, dana yang terserap untuk mengatasi penyakit itu di Indonesia baru USD 160 juta dari kebutuhan USD 500 juta. Sementara pendanaan global mencapai USD 6 miliar.
Baca juga:
Ada Pengecekan TBC Lewat Skrining X-ray Mobile, Masuk Mobil Langsung Difoto
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.