TEMPO.CO, Jakarta - Pernah dengan soal hemofilia? Hemofilia adalah kelainan pembekuan darah bawaan yang terjadi akibat kekurangan faktor pembekuan darah, 70-80 persen diturunkan secara genetik. Menurut spesialis anak konsultan hematologi onkologi, Dr. dr. Novie Chozie Amalia, penyakit ini belum bisa disembuhkan.
"Sebab masalahnya ada di dalam gen kromosom X," kata Novie.
Saat ini, terapi gen yang diharapkan menjadi alternatif menangani hemofilia masih dikembangkan di dunia. Hemofilia adalah penyakit genetik yang diturunkan lewat kromosom X sehingga jenis kelamin laki-laki yang punya satu kromosom X bisa menjadi penderita sementara perempuan yang punya dua kromosom X akan menjadi pembawa meski memiliki satu kromosom X yang punya genetik hemofilia.
"Perempuan adalah pembawa sifat, yang mengalaminya adalah lelaki," ujar Novie.
Peluang penyakit ini diturunkan kepada anak dalam keluarga yang punya riwayat hemofilia tergantung pada jenis kelamin anak. Jika laki-laki penderita hemofilia menikah dengan perempuan pemilik kromosom normal, anak perempuannya akan punya kemungkinan 50 persen pembawa sifat hemofilia.
"Tapi anak laki-lakinya biasanya aman karena si ayah menurunkan kromosom Y," lanjutnya.
Hemofilia bisa dideteksi sejak dalam kandungan lewat pemeriksaan cairan ketuban atau biopsi ari-ari pada usia kehamilan 8-12 minggu. Namun, ia mengingatkan ini harus dilakukan oleh tenaga ahli dan diketahui dulu pola genetik dari penderita hemofilia dalam keluarga.
Hemofilia punya gejala seperti pendarahan sulit berhenti setelah operasi kecil, seperti cabut gigi atau sunat. Gejala lain yang patut diwaspadai adalah sering lebam dan bengkak serta nyeri sendi akibat trauma benturan ringan atau tanpa sebab jelas. Ketika terjadi perdarahan sendi, sendi akan bengkak, nyeri, dan sulit digerakkan. Bila ini terjadi berulang-ulang, akan terjadi kerusakan sendi dan berujung pada kecacatan bila tidak diatasi.
Perdarahan pada hemofilia juga bisa terjadi pada organ lain dengan risiko serius, bahkan bisa mengancam jiwa. Sebagai contoh, perdarahan pada leher bisa menyumbat saluran napas yang mengancam jiwa. Pasien yang sudah mendapat faktor pembekuan dosis tepat namun keluhan atau perdarahan tidak membaik patut merasa waspada karena bisa jadi ada inhibitor.
Inhibitor menetralisasi aktivitas faktor pembekuan darah dan membuat pasien tidak bisa merespons terapi pembekuan darah. Pasien dengan inhibitor harus mendapatkan obat dengan cara khusus yang biayanya lebih mahal dengan tingkat keberhasilan 60-80 persen. Pasien dengan inhibitor juga punya risiko mortalitas tiga kali lebih besar dibandingkan risiko kematian lain pada hemofilia serta lebih rentan terhadap gangguan fungsi fisik dibanding pasien tanpa inhibitor.
"Inhibitor pada hemofilia adalah beban yang sangat membuat pengobatan jadi rumit," tuturnya
Tata laksana hemofilia secara komprehensif tak hanya melibatkan seorang dokter, tapi melibatkan banyak spesialis dokter hingga keluarga dan kerabat dekat.
"Ini masih jadi kendala di Indonesia karena keterbatasan jumlah dokter dan keahlian pelatihan di bidang hemofilia masih harus digalakkan lagi," katanya.
Dengan menambah pelatihan keahlian di bidang penyakit tersebut diharapkan tata laksana hemofilia secara komprehensif bisa dilakukan di semua pusat penanganan secara merata. Hingga saat ini, pusat penanganan hemofilia pun belum tersebar hingga ke Indonesia Timur. Pusat terbanyak berada di pulau Jawa dan Sumatera, sementara di Kalimantan hanya ada di Banjarmasin dan Samarinda, dan Manado serta Makassar di Sulawesi.
Kini, terapi profilaksis bertujuan mencegah kerusakan sendi dan kecacatan sudah masuk dalam Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Hemofilia yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada 2021. Namun, implementasinya masih dalam fase transisi dan rumah sakit di Indonesia masih punya tugas untuk bisa mengadopsi terapi ini dalam standar prosedur operasional masing-masing.
Sebagai negara kepulauan, ada berbagai kendala penanganan hemofilia di Indonesia, seperti distribusi fasilitas kesehatan dan obat yang belum merata, akses pengobatan terbatas di daerah terpencil, distribusi informasi yang tidak merata, kesadaran hemofilia yang masih kurang. Ini menyebabkan baru tercatat 2.706 orang terdiagnosis menderita hemofilia pada 2020, di bawah angka estimasi penderita yang mencapai 28.000.
Satria Dananjaya, dokter dan pasien hemofilia, mengatakan kesehatan mental penting dijaga dalam menjalani hidup bersama hemofilia. Dukungan dari keluarga dan orang sekitar sangat penting agar bisa menjalani kehidupan dengan baik.
Baca juga: Hari Hemofilia Sedunia: Benarkah Hemofilia Termasuk Penyakit Menular?