TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog klinis dari Fakultas Unika Atma Jaya, Nanda Rossalia, berpendapat setidaknya ada sejumlah hal yang bisa didapat remaja dari bermain game online. Salah satunya berkompetensi.
"Alasan remaja bermain game untuk menunjukkan kompetensi mereka, balik lagi ke identitas. Memenangi permainan, saya tangguh dan kompeten. Berbeda dengan di dunia nyata, nilai saya jelek. Sesuai karakteristik remaja, dia mau untuk building karena ini nanti berguna untuk confidence-nya," ujarnya.
Hal lain yang bisa didapat saat bermain game online yakni dalam hal otonomi, suatu hal yang amat dibutuhkan, bahkan diimpikan oleh remaja dan ini belum tentu diperoleh di dunia nyata. Menurut Nanda, bermain game online memberi kesempatan dan kebebasan pada remaja untuk memilih serta mengambil keputusan atau langkah. Di sisi lain, game online juga mampu mengisi kebutuhan untuk berinteraksi, terkoneksi, dan mendapat perhatian orang lain yang mungkin tidak didapatkan di dunia nyata.
Pada akhirnya, karena setidaknya tiga kebutuhan dasar sudah didapatkan, ini kemudian membuat mereka nyaman dan terlarut di dalamnya. Sementara di dunia nyata, para remaja justru merasa tak mendapatkannya.
"Karena online game mampu memberikan kebutuhan dasar sehingga tidak heran kalau remaja larut. Di sinilah saya diterima. Inilah kompetensi saya, ini bisa memberikan rasa nyaman dan teman," tutur Nanda.
Lantas, apakah setiap pemain game pasti berakhir dengan kencanduan? Nanda mengatakan hal ini terkait faktor kerentanan. Ada orang yang memang rentan sehingga bisa menjadi kecanduan. Biasanya, mereka ini yang memiliki rasa percaya diri dan rasa mampu yang rendah dalam mengontrol tindakannya.
Sebenarnya, untuk keperluan diagnosis ada kuesioner perilaku kecanduan bermain game yang disusun berdasarkan lima faktor, antara lain preokupasi, suasana hati, toleransi, konflik, dan pembatasan waktu. Beberapa pertanyannya misalnya, "Apakah pernah mengabaikan kebutuhan dasar seperti makan dan tidur karena game online game" atau "Apakah pernah gagal mencoba membatasi waktu bermain game online?".
"Tidak pasti kita melihat setiap gamer itu kecanduan. Kita memiliki suatu tools dan memberikan asesmen untuk mengatakan anak ini kecanduan," kata Nanda.
Lalu, apa yang bisa orang tua atau anggota keluarga lakukan pada remaja yang ternyata sudah kecanduan game online? Nanda menyarankan dibuatnya suatu program untuk dilakukan bersama, misalnya di dalam level sekolah, kegiatan yang konsisten, misalnya berolahraga bersama atau menstimulasi siswa untuk mengembangkan hobi baru.
Selain itu, orang tua bisa memberikan edukasi apa yang terjadi bila bermain game online berlebihan. Nanda menyoroti pentingnya pembahasaan ini yang perlu dibedakan dari biasanya.
"Pembahasaan kita dalam melakukan promotive behaviour itu harus berbeda dari biasanya, jadi tidak lagi konvensional. Misalnya, menggunakan film, animasi. Penyampaiannya melalui komunikasi. Orang tua secara aktif dan pasif memonitor kegiatan anak saat bermain game online. Ini meningkatkan keterlibatan orang tua," saran Nanda.
Baca juga: Kecanduan Game Online Timbulkan Gangguan Fungsi Otak, ini Dampak Lainnya