TEMPO.CO, Jakarta - Migrain merupakan nyeri kepala primer yang banyak ditemukan di Eropa, Amerika, maupun Asia. Berdasarkan studi populasi Balitbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, migrain memiliki prevalensi sebesar 22,4 persen di Indonesia.
Kondisi ini merupakan sakit kepala tipe kronis dengan gejala keluhan yang sama berulang-ulang, menyerang usia produktif, dan dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja hingga 80 persen sehingga berpotensi mempengaruhi kualitas hidup dan kehidupan perekonomian serta pendidikan secara global. Serangan sakit kepala migrain bersifat spesifik, paroksismal atau mendadak, dan terkadang dibarengi kilatan cahaya di depan mata.
Spesialis akupunktur klinik dr. Newanda Mochtar, mengatakan akupuntur bisa membantu menangani keluhan migrain yang tak bisa sembuh usai diberikan terapi obat-obatan. Metode yang digunakan adalah akupunktur secara manual, 2-3 kali seminggu dengan durasi 20-30 menit per sesi, total 12 kali.
"Setelah terapi, dokter akan melakukan evaluasi," ujar anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan berpraktik di RS Pondok Indah-Bintaro Jaya itu.
Menurutnya, akupunktur medis bekerja dengan merangsang sistem saraf dan mempengaruhi berbagai neurotransmitter yang berperan terhadap serangan nyeri kepala sehingga nyeri kepala berdenyut tidak terjadi. Terapi ini mampu membantu meredakan nyeri serta mengurangi kambuhnya migrain secara jangka panjang.
"Setelah terapi, akan terjadi pengurangan dalam hal jumlah hari serangan migrain, keparahan serangan migrain, serta lamanya serangan migrain," kata Newanda.
Menurut Newanda, migrain hanya dapat diobservasi oleh dokter yang memeriksa pasien, baik sebelum maupun sesudah serangan. Kondisi migrain dinyatakan sebagai nyeri kepala berulang, lebih dari lima kali, dengan durasi 4-72 jam dengan karakteristik berdenyut, intensitas sedang sampai berat, unilateral/menyerang satu sisi yang bertambah dengan aktivitas fisik, serta adanya manifestasi mual, sensitif terhadap cahaya dan suara.
Namun, kelompok studi nyeri kepala Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) pada 2013 dan American Headache Society (AHS) menyebutkan tidak mengharuskan adanya nyeri kepala berdenyut, nyeri kepala unilateral, dan ada tidaknya gejala dalam setiap serangan.
"Adanya ketidakseimbangan neurotransmitter otak dapat menyebabkan migrain," tutur Newanda.
Dia mengungkapkan sekitar 60 persen pencetus migrain berasal dari faktor genetik sementara 40 persen lainnya faktor lingkungan sehingga dalam pendekatan penanganannya perlu satu kesinambungan, baik terhadap individu maupun keluarga atau lingkungan. Bila dirinci, penyebab migrain ini antara lain perubahan hormon pada wanita, termasuk sebelum dan sesudah menstruasi, kehamilan, dan menopause.
Makanan seperti keju, makanan asin dan makanan yang diproses, pemanis aspartame dan monosodium glutamate, serta minuman beralkohol dan berkafein juga dapat memicu migrain. Selain itu, stres di tempat kerja atau rumah, cahaya terang, silau matahari, suara keras, bau yang kuat, perubahan pada siklus tidur, dan perubahan lingkungan seperti cuaca, dapat pula memicu timbulnya migrain.
"Obat-obatan hormonal seperti kontrasepsi oral dan terapi pengganti hormon dapat memperburuk keadaan migrain," kata Newanda. "Serangan migrain dapat terjadi kapan saja. Apabila mengalami serangan migrain berulang dan tak kunjung sembuh dengan obat-obatan, mungkin Anda dapat mencoba terapi akupunktur. Namun, sebaiknya berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter spesialis akupunktur klinik di rumah sakit terdekat sebelum memutuskan untuk melakukan terapi tersebut."
Baca juga: Mengenal Kondisi 2 Jenis Vertigo Beserta Gejalanya