TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), anak yang jadi korban kekerasan seksual pada 2019 ada 6.454 dan naik jadi 8.730 pada 2022. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menekankan pedofil sering menyasar anak-anak yang belum paham penggunaan media sosial untuk melakukan aksi kejahatan seksual.
“Ini sangat mengkhawatirkan karena ternyata para pedofil atau para pelaku kejahatan seksual daring (online). Mereka menyasar anak-anak yang belum paham tentang media sosial,” kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI, Eva Devita Harmoniati, dalam Seminar Awam Cegah Kekerasan Seksual pada Anak, Rabu, 13 Juli 2022.
Eva menuturkan banyak anak zaman sekarang belum memahami batasan-batasan dalam mengakses informasi yang tersebar di dunia internet. Beberapa lainnya justru rutin atau gemar mengunggah foto-foto pribadi tanpa menyadari dampak yang ditimbulkan sehingga anak menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap kejahatan seksual.
Pedofil itu sendiri pada awalnya berusaha mendekati anak dengan bersikap seperti teman yang memberikan bermacam-macam hadiah. Tak jarang mereka menghubungi anak melalui aplikasi pesan seperti grup Whatsapp. Momen itu kemudian dimanfaatkan pelaku untuk mengancam anak-anak dengan imbalan minta dikirimkan gambar atau video yang tidak senonoh sehingga Eva menekankan setiap anak butuh pengawalan penuh, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
Untuk melindungi anak dari kekerasan seksual secara online, terutama dalam masa pandemi COVID-19 yang menuntut anak lebih banyak berinteraksi dengan media sosial, Eva menyarankan orang tua untuk mengevaluasi aturan pemakaian internet dan menyiapkan perangkat keamanan untuk semua gawai anak.
“Jangan sampai anak menggunakannya secara bebas tanpa adanya aplikasi pengaman di dalam perangkat-perangkat elektronik yang bisa mengaksesnya. Buat seting pengawasan orang tua pada semua alat yang bisa diakses di internet, dengan mengaktifkan age appropriate filters dan monitoring tools,” ujarnya.
Eva mengatakan sangat penting bagi orang tua untuk mengajarkan anak mengenali dan menghindari berbagi informasi pribadi di internet. Berikan pemahaman untuk menghindari komunikasi dengan orang yang tak dikenal.
“Kita ajarkan kepada anak apa yang boleh diunggah dan apa yang tidak boleh. Ada hal-hal yang harus dibatasi untuk orang-orang yang baru kita kenal, apalagi di dunia maya,”ucapnya.
Kemudian, orang tua diminta untuk membuat sebuah kesepakatan aturan penggunaan internet agar anak dapat terawasi sekaligus membangun kepercayaan dan mengajarkan anak untuk bisa bertanggung jawab. Terakhir, bagi orang tua yang menemukan atau mencurigai terjadinya kejahatan seksual pada anak, disarankan untuk menghubungi langsung pihak terkait, seperti KemenPPPA melalui call center SAPA 129 atau Kepolisian RI Subdit Kekerasan Perempuan dan Anak di 110.
“Jangan lupa, kita juga perlu menangani dampak psikologis dan juga dampak fisik yang diderita anak-anak, baik kepada dokter anak maupun psikolog,” kata Eva.
Baca juga: Dampak Panjang Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan pada Korban