TEMPO.CO, Jakarta - J (35 tahun) sedang duduk di kursi roda didampingi sang kakak, NH (48 tahun). Mereka menunggu di ruang tunggu Klinik Aster, Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan akhir Juni 2022. Pagi itu adalah pekan keduanya mengambil obat rutin tuberkulosis (TBC) untuk sepekan ke depan.
J terlihat sangat kurus. Menurut NH, berat J saat ini adalah 26 kilogram. Dengan tinggi sekitar 150an, wanita berjilbab itu terlihat sangat kurus. Berat badan J menyusut setengah dibanding akhir tahun 2021. Kala itu, J masih terlihat cukup segar dengan berat 56 kilogram.
J adalah pasien Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO). Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis. TBC dibagi menjadi Tuberkulosis Sensitif Obat (TBC SO) dan Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO). TBC RO merupakan perkembangan dari TBC SO, sehingga pasien TBC RO kebal akan obat tertentu dan beberapa jenis obat lainnya. Fokus utamanya adalah kebal terhadap obat Bakteriosid, Rimfampisin dan Isoniazid. Akibatnya, ketika pasien TBC SO bisa berobat dalam jangka waktu 6-9 bulan, pasien TBC RO harus menjalani pengobatan 9-24 bulan lamanya.
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock
J sulit diajak berkomunikasi ketika Tempo mengajaknya berbicara. Suara kami harus cukup lantang ketika bertanya, dan jawaban yang diberikan J pun tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. "Memang sering enggak nyambung," kata NH yang membantu menerjemahkan penjelasan J kepada Tempo.
NH bercerita bahwa penyakit yang dialami J ini berawal pada Maret 2022. J yang bekerja sebagai asisten rumah tangga sering demam hingga akhirnya pingsan. Pada awalnya J ditangani Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso karena ternyata positif Covid-19. Namun setelah menjalani pengobatan, J tetap mengalami berbagai gejala tersebut. Saat ia sakit parah itu, kulitnya yang tadinya mulus malah timbul koreng dan rasanya gatal sekali. J pun mengalami batuk yang cukup parah. J akhirnya diminta melakukan tes kesehatan menyeluruh, di RS Bhakti Mulia. Dokter mendiagnosis dia mengalami penyakit HIV dan juga TBC RO. "Kami pikir itu awalnya tifus, tapi ternyata kata dokter itu HIV dan tuberkulosis," kata NH.
RS Bhakti Mulia menyarankannya untuk menjalani pengobatan Tuberkulosis di RS Islam Jakarta Cempaka Putih, namun akhirnya tenaga kesehatan di RSIJ Cempaka Putih menyarankannya untuk menjalani terapi TBC RO di rumah sakit yang memiliki klinik TBC RO terdekat dari rumahnya, yaitu RSUD Tarakan.
NH menduga J mendapatkan penyakit HIV dari suaminya yang saat ini tinggal di rumah mertua J. J memiliki dua anak, satu tinggal bersama sang suami di tempat mertuanya, satu lagi tinggal bersama J bersama keluarga NH. Sejak didiagnosis memiliki penyakit tuberkulosis, J tidak lagi bekerja sebagai asisten rumah tangga, ia bergantung pada keluarga NH. "Saya tidak sanggup mengurus dua orang sakit, jadi suaminya diambil mertua J," kata NH berprofesi sebagai ibu rumah tangga.