TEMPO.CO, Jakarta - Penyebab depresi selama ini diketahui dipengaruhi tingkat hormon serotonin yang lebih rendah daripada yang dibutuhkan. Atas dasar ini, orang yang mengalami depresi kerap direkomendasikan untuk mengonsumsi Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI), obat antidepresan yang paling populer. Sejumlah penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa SSRI secara signifikan dapat mengurangi risiko depresi. Namun, sebuah studi baru-baru ini menyangkalnya.
Studi terbaru yang terbit di Molecular Psychiatry pada 20 Juli 2022 lalu menganalisis 17 penelitian terdahulu mulai dari 2010 tentang kadar serotonin pada orang dengan depresi. Hasilnya, tidak ditemukan bukti bahwa orang yang depresi memiliki kadar serotonin yang lebih rendah atau aktivitas serotonin yang abnormal dibandingkan dengan orang yang tidak depresi.
"Selalu sulit untuk membuktikan sesuatu yang negatif, tetapi saya pikir kami dapat mengatakan bahwa dari banyak penelitian yang dilakukan selama beberapa dekade, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa depresi disebabkan oleh kelainan serotonin, terutama oleh tingkat yang lebih rendah atau penurunan aktivitas serotonin,” kata penulis utama studi tersebut, Joanna Moncrieff, yang juga seorang profesor psikiatri di University College London dan konsultan psikiater di North East London NHS Foundation Trust (NELFT).
Melansir Sciene Daily, penurunan kadar serotonin pertama kali dikaitkan dengan depresi pada 1960-an. Teori tersebut diterima secara luas pada 1990-an dengan munculnya antidepresan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), yang dapat meningkatkan ketersediaan serotonin di otak untuk sementara. Satu dari enam orang dewasa di Inggris dan 13 persen orang Amerika mengonsumsi obat antidepresan.
Studi tersebut tidak serta merta melabeli bahwa penggunaan SSRI tidak bekerja, tetapi menduga bahwa obat itu tidak mengatasi depresi dengan cara memperbaiki kadar serotonin. Mereka menemukan tidak ada perbedaan kadar serotonin antara orang yang didiagnosis dengan depresi dan orang sehat, meskipun jajak pendapat menunjukkan bahwa 95 persen masyarakat percaya hal ini.
Meski demikian, Michael Bloomfield, psikiater lain di University College London, menyebut temuan itu 'tidak mengejutkan' mengingat betapa kompleksnya kondisi depresi. Ia menuturkan bahwa depresi memiliki banyak gejala yang berbeda. Ia belum pernah bertemu dengan peneliti atau psikiater yang berpikir bahwa semua penyebab depresi secara mutlak disebabkan oleh ketidakseimbangan kimia sederhana dalam serotonin.
Namun, ia mengatakan jika mengonsumsi SSRI masih bisa membantu mengobati depresi walau mungkin tidak mengatasi hingga akar permasalahannya. "Banyak dari kita tahu bahwa mengonsumsi parasetamol dapat membantu mengatasi sakit kepala dan saya rasa tidak ada yang percaya bahwa sakit kepala disebabkan oleh tidak cukupnya parasetamol di otak, logika yang sama berlaku untuk depresi dan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati depresi," ujarnya seperti dikutip Daily Mail.
MOHAMMAD HATTA MUARA BAGJA
Baca juga: Benarkah Suplemen Bisa Membantu Atasi Depresi dan Gangguan Kecemasan?