TEMPO.CO, Jakarta - Varian baru COVID-19 masih terus bermunculan. Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Prasenohadi, menyatakan subvarian baru COVID-19 semakin tidak menunjukkan kekhasan gejala saat menginfeksi.
“Awalnya bersarang di saluran pernapasan atas. Tapi kenyataannya, dengan perjalanan waktu, ternyata virus ini mampu mencapai organ-organ tertentu. Makanya, kenapa sekarang gejalanya menjadi tidak khas,” kata Prasenohadi dalam bincang-bincang "Perkembangan Gejala pada Subvarian BA.5", Jumat, 26 Agustus 2022.
Prasenohadi menuturkan pada mulanya infeksi akibat COVID-19 menyerang saluran pernapasan bagian atas. Gejala yang diderita berupa batuk, pilek, demam seperti influenza atau ditambah sesak napas bila bergejala sedang hingga berat. Saat ini pada kasus varian Delta, gejala yang paling banyak dilaporkan penderita berupa sesak napas. Sedangkan pada kasus varian Omicron, gejala yang paling banyak adalah batuk.
Hal itu kemungkinan disebabkan antibodi yang meningkat karena tingginya cakupan vaksinasi atau Omicron yang lebih lemah dari keganasan Delta. Namun, seiring berjalannya waktu, ditemukan pula pasien COVID-19 justru memiliki gejala seperti diare. Prasenohadi menjelaskan kekhasan yang semakin hilang itu disebabkan virus dapat menyebar ke sejumlah organ tubuh tertentu dan mengganggu fungsi organ berjalan dengan baik seperti biasa.
“Sering ditemukan orang dengan diare ternyata begitu diusap PCR positif dan keluhannya hanya diare, atau pasien dengan kelelahan dan kesadaran menurun. Itu karena bisa menyerang otak, usus, ginjal, dan sebagainya,” ucap dokter yang berpraktik di RSUP Persahabatan itu.
Penyebab lain yakni ditemukannya virus akan mengenai organ yang dianggapnya lemah sehingga keluhan akan gejala yang dirasakan pasien sudah tidak dapat lagi dikatakan khas. Dari beberapa pemeriksaan COVID-19 yang ia lakukan ditemukan ada pasien yang telah dinyatakan negatif COVID-19 justru tiba-tiba mengalami gangguan ginjal atau jantung. Ada pula pasien yang mengaku merasa lebih cepat lelah hingga mengalami gangguan pembekuan darah.
“Itu bisa berlangsung lama. Beberapa pasien saya sudah lama menderita COVID-19, kemudian sudah sembuh, PCR sudah negatif, tapi naik tangga tidak mampu, berjalan jauh juga tidak mampu karena terjadi pembekuan darah,” jelasnya.
Menurut Prasenohadi, meski pandemi kini didominasi oleh Omicron dengan varian BA.5, tidak menutup kemungkinan bila gejala yang dirasakan bisa sama seperti yang diakibatkan oleh varian Alfa atau Delta karena tergantung imunitas dan kondisi tubuh seseorang. Karena itu, sambil pemerintah dan para ahli terus melakukan kajian, ia berharap semua pihak bekerja sama menekan penularan COVID-19 dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dan mengikuti vaksinasi yang disediakan.
“Penyakit ini baru dua tahun, kita tidak tahu lima atau 10 tahun ke depan. Jadi, manusia masih mempelajari COVID- 19 ini. Berbeda dengan kita belajar menangani TBC atau asma atau pasien lain yang kita sudah tahu obatnya. Ini masih berjalan, semuanya masih di awang-awang,” katanya.
Baca juga: Tak Hanya Covid-19, Ini 7 Penyebab Lain Munculnya Kabut Otak