TEMPO.CO, Jakarta - Menopause adalah fase berhenti menstruasi secara permanen akibat hilangnya aktivitas sel-sel telur yang sudah tidak dihasilkan lagi di ovarium. Banyaknya mitos di masyarakat terkait menopause, seperti dapat menyebabkan depresi, kulit keriput, dan kehidupan seks berakhir menimbulkan ketakutan sehingga menyebabkan konsekuensi psikologis bagi wanita.
Psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr. dr. Natalia Widiasih, Sp.KJ(K), menjelaskan alasan menopause dapat mempengaruhi, bahkan mengganggu fungsi kognitif dan mental. Salah satunya dipengaruhi penurunan hormon estrogen.
Estrogen berperan dalam mediasi neurotransmitter di korteks prefrontal yang berperan dalam fungsi eksekutif dengan mengatur pembentukan saraf dan melindungi saraf dari kerusakan dan kematian sel. Hormon ini juga berperan dalam regulasi fungsi mitokondria dalam sintesis ATP, yaitu bentuk energi yang dibutuhkan sel.
Ia mengatakan penurunan kadar estrogen mengganggu pembentukan energi otak akibat disfungsi mitokondria yang diikuti penurunan metabolisme otak, deposisi beta amiloid, hilangnya sinaps neuron di otak, dan kemudian menyebabkan penurunan fungsi kognitif hingga demensia. Jika kondisi ini tidak terdeteksi, ditambah stres, maka dapat menimbulkan kerusakan saraf lebih besar. Bila dibiarkan maka bisa berisiko menyebabkandemensia vaskular atau demensia akibat perubahan hormonal, ditambah stres yang tinggi.
"Buruan dibawa ke tenaga profesional. Kalau sudah terjadi demensia, kita sudah tidak bisa pulihkan lagi. Tetapi kalau baru gejala-gejala awal, kita bisa pulihkan," ujar Natalia.
Dampak psikologis
Sementara dampak psikologis akibat menopause yang juga akibat perubahan hormonal, salah satunya estrogen, bisa berupa rasa tidak nyaman, kesepian, bisa karena bagian dari depresi atau karena dia menarik diri. Selain itu, ada kemungkinan orang sudah sejak awal tak memiliki dukungan sosial yang baik, misalnya karena sifat pemalu atau kepercayaan diri rendah sehingga memperkuat potensi kerentanan mengalami gangguan mental lebih besar.
"Kondisi ini bisa diperberat dengan cara pandang yang negatif terhadap diri dan pemicu stres di lingkungan sehingga menyebabkan orang mengalami gangguan mood menetap," papar Natalia.
Stres yang tinggi dapat merusak otak karena banyaknya radikal bebas yang dilepaskan dan wujudnya dapat kecemasan, depresi. Di saat yang sama, orang juga merespons perubahan secara negatif sehingga menurunkan kualitas hidupnya.
"Orang ini biasanya sudah perlu tata laksana, apalagi bila sudah terpikir mengakhiri hidup," ungkap Natalia. "Karena perubahan biologis bisa menyebabkan perubahan secara psikologis, ditambah stressor sosial. Apalagi lingkungan sosial bukannya membantu tetapi menakuti."