TEMPO.CO, Jakarta - Intermittent Explosive Disorder disingkat IED merujuk pada kondisi mental seseorang yang ditandai dengan seringnya menunjukan ledakan marah impulsif atau agresi berlebih secara tidak wajar. IED merupakan salah satu dari gangguan kontrol impulsif.
Orang dengan IED memiliki tingkat toleransi rendah akan rasa frustrasi. Di luar ledakan kemarahan, orang dengan IED dalam kesehariannya berperilaku normal. Tak seperti kebanyakan orang yang kehilangan kesabaran hanya sesekali, IED melibatkan ledakan amarah yang sering dan berulang. Ketika marah, orang dengan IED dapat melakukan tindakan berlebihan seperti menghancurkan properti, memaki-maki, atau menyerang secara fisik.
Melansir Cleveland Clinic, diperkirakan bahwa sekitar 1,4 persen hingga 7 persen orang pernah mengidap IED. Sekitar 80 persen orang dengan IED memiliki kondisi kesehatan mental lain, dengan gangguan kecemasan, gangguan eksternalisasi, cacat intelektual, autisme, dan gangguan bipolar menjadi yang paling umum. IED dapat terjadi pada anak usia 6 tahun ke atas dan orang dewasa berusia di bawah 40 tahun.
Baca: 10 Manajemen Marah, Tips Melunakkan Emosi
Tanda Penderita IED
Tanda utama Intermittent Explosive Disorder adalah pola ledakan amarah yang tidak rasional dengan situasi atau penyebabnya. Orang dengan IED sadar bahwa ledakan amarah mereka tidak perlu, tetapi merasa tidak dapat mengendalikan tindakan mereka.
Pengidap IED biasanya mengalami hal-hal ini sebelum ledakan amarah:
- Amarah.
- Tensi meningkat.
- Komunikasi buruk.
- Mengalami adrenaline rush
- Tremor.
- Jantung berdegup kencang
- Merasakan sesak di dada.
Para ahli masih mencoba untuk menemukan penyebab pasti Intermittent Explosive Disorder. Mereka menduga faktor genetik, biologis dan lingkungan berkaitan pada perkembangannya:
- Faktor genetik: IED lebih sering terjadi dalam keluarga biologis. Studi menunjukkan bahwa 44 – 72 persen kemungkinan penyebab perilaku agresif impulsif adalah genetik.
- Faktor biologis: Studi menunjukkan bahwa struktur dan fungsi otak berubah pada IED. Telah dibuktikan juga bahwa tingkat serotonin (neurotransmiter dan hormon) pada orang dengan IED lebih rendah dari orang pada umumnya.IklanScroll Untuk Melanjutkan
- Faktor lingkungan: Mengalami kekerasan verbal dan fisik ketika masa kecil dan/atau menyaksikan pelecehan selama masa kanak-kanak tampaknya berperan dalam perkembangan IED. Pengalaman traumatis di masa kanak-kanak juga dapat berperan.
Umumnya, psikoterapi merupakan pengobatan utama untuk IED, khususnya terapi perilaku kognitif (CBT). Penelitian menunjukan bahwa 12 minggu CBT mengurangi gejala IED termasuk agresi dan pengendalian amarah. CBT membantu orang dengan IED terkait cara mengelola situasi negatif dalam keseharian guna menahan impuls agresif yang dapat memicu ledakan emosi.
Melansir healthline, tidak ada obat khusus untuk IED. Namun, terdapat obat-obatan yang dapat membantu mengurangi perilaku impulsif dan agresi.
Fluoxetine (inhibitor reuptake serotonin selektif, atau SSRI) adalah obat yang paling banyak digunakan untuk mengobati IED. Obat lain yang telah dipelajari untuk IED yakni fenitoin, lithium, oxcarbazepine, dan carbamazipine. Selain itu, terdapat obat-obat lain yang dapat diminum seperti:
- Antikonvulsan.
- Antidepresan.
- Obat anti ansietas.
- Antipsikotik.
- Mood regulators.
HATTA MUARABAGJA
Baca juga: Seperti Apa Hubungan Marah dan Tekanan Darah Tinggi?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.