TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Arief Bakhtiar, mengatakan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) tidak dapat disembuhkan. Namun, gejala dan risiko dapat dikurangi dengan terapi.
“Di sini kita lihat tidak ada tujuan untuk menyembuhkan. Jadi, kita harus sampaikan pada pasien PPOK bahwa sekali terdiagnosis itu selamanya melekat," kata anggota Pokja Asma dan PPOK PDPI itu.
Baca Juga:
Terapi bisa meliputi farmakologi atau obat-obatan maupun nonfarmakologi. Dia mengatakan terapi pada pasien PPOK dilakukan seumur hidup. Tujuan terapi salah satunya untuk mengurangi gejala, antara lain menghilangkan gejala harian supaya tidak terlalu berat, meningkatkan toleransi aktivitas atau dapat beraktivitas dengan baik, serta meningkatkan status kesehatan pasien.
Selain itu, terapi juga bertujuan untuk mengurangi risiko, seperti mencegah berkembangnya penyakit paru lebih cepat dan lebih lanjut, mencegah dan mengobati kekambuhan, serta menurunkan angka kematian.
“Pada saat-saat tertentu, pasien COPD ini akan mengalami kekambuhan. Hampir mirip seperti asma, ada fase-fase saat kambuh atau perburukan gejala,” jelas Arief.
Dia menganjurkan pasien PPOK untuk terus melakukan terapi dan disarankan terapi obat-obatan dengan inhaler, mirip seperti asma. Namun, terapi tersebut tidak bisa dihentikan pada pasien PPOK. Penghentian pengobatan hanya dilakukan jika memang timbul efek samping dari salah satu obat.
Lanjutkan pengobatan
Menurut Arief, banyak pasien PPOK yang jarang periksa kembali ke fasilitas kesehatan sejak pandemi COVID-19. Meski status pandemi saat ini masih belum dicabut, dia menyarankan sebaiknya pasien PPOK tetap melanjutkan pengobatan sesuai panduan yang telah diberikan oleh dokter.
Walaupun PPOK tidak bisa disembuhkan, Arief mengingatkan penyakit ini bisa dicegah. Oleh sebab itu, ia mengimbau masyarakat untuk menghentikan pajanan asap rokok dan polusi udara yang lain. Sementara bagi perusahaan-perusahaan skala besar, sebaiknya dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat bagi para pekerja karena salah satu faktor risiko PPOK adalah debu dan asap di lingkungan tempat kerja.
“Bagi masyarakat, mari kita menjaga lingkungan yang bebas polusi udara. Dan bagi mereka yang terlanjur sakit COPD ini dapat memanfaatkan kualitas layanan kesehatan, termasuk rehabilitasi paru di layanan kesehatan setempat,” imbaunya.
Selain itu, Arief juga berharap pemerintah dapat semakin meningkatkan akses ke layanan kesehatan dan ketersediaan obat-obatan serta sarana untuk mendiagnosis PPOK secara lebih dini.
Baca juga: Penyakit Paru-Paru Tersebab Menghirup Senyawa Kimia, Apa Itu Popcorn Lung?