TEMPO.CO, Jakarta - Obat antibiotik yang diresepkan dan tidak dihabiskan karena merasa sudah sehat adalah kebiasaan berbahaya bagi kesehatan sebab dapat menyebabkan resistensi antimikroba. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), resistansi antimikroba (AMR) adalah kondisi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan sehingga memiliki daya tahan atau kekebalan yang tinggi terhadap obat-obatan antimikroba dan/atau antibiotik. Bila antimikroba dan/atau antibiotik tidak dikonsumsi secara teratur, orang berisiko mengalami AMR.
Resistensi diawali penggunaan antibiotik yang tidak sampai habis sehingga menyebabkan bakteri tidak mati secara keseluruhan namun masih ada yang bertahan hidup. Jika resistensi tersebut terjadi, pasien infeksi akan lebih sulit disembuhkan. Akibatnya membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, sakit parah, dan kematian sehingga WHO menyarankan obat antibiotik harus dihabiskan agar efektif melawan infeksi bakteri dalam tubuh. Terlebih, kondisi tubuh atau gejala yang semakin membaik bukan berarti infeksi telah hilang secara keseluruhan.
Penyebab resistensi antibiotik
Resistensi antibiotik terjadi ketika antibiotik tidak lagi efektif mengobati infeksi bakteri. Kondisi ini bisa terjadi karena bakteri beradaptasi atau berubah fungsi dengan beberapa cara berikut:
-Menghilangkan atau menetralkan efek antibiotik dalam membunuh bakteri.
-Mengeluarkan antibiotik dari dalam tubuh bakteri itu sendiri.
-Mengubah bagian struktur bakteri yang tadinya sensitif terhadap antibiotik.
-Mengubah gen tubuhnya agar resisten terhadap antibiotik kemudian berkembang biak.
Kondisi-kondisi yang bisa meningkatkan risiko resistensi antibiotik adalah:
-Minum antibiotik walaupun penyakit yang diderita bukan disebabkan oleh infeksi bakteri, misalnya batuk pilek yang biasanya disebabkan oleh virus.
-Minum antibiotik tidak teratur, misalnya dengan memberi jeda waktu 1–2 hari.
-Tidak menghabiskan antibiotik sesuai waktu yang disarankan oleh dokter.
-Menggunakan antibiotik untuk hewan ternak.
Gejala
Gejala resistensi antibiotik bisa bervariasi, tergantung pada jenis bakteri penyebab infeksi. Namun, gejala umum meliputi:
-Demam berulang
-Diare lebih dari tiga hari.
-Batuk dan sesak napas
-Mual dan muntah
-BAB berdarah
-Jumlah dan frekuensi buang air kecil menurun.
-Lelah atau lemas
-Berat badan turun
-Mulut kering
Pada penderita resistensi antibiotik, keluhan di atas tidak mereda atau sembuh meski diobati dengan beberapa jenis antibiotik. Pengobatan resistensi antibiotik akan disesuaikan dengan hasil tes sensitivitas antibiotik. Dokter bisa meresepkan dua jenis antibiotik atau lebih untuk membunuh bakteri tersebut.
Antibiotik yang diberikan bisa berupa obat minum atau suntik, sesuai kondisi pasien. Selama pengobatan, pasien disarankan untuk mengonsumsi antibiotik sesuai dosis pada jam yang sama setiap hari. Penting untuk diingat, pasien harus meminum antibiotik sampai habis meski gejala sudah mereda. Selain itu, pasien juga disarankan untuk menghindari kontak dengan orang lain serta rutin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik, beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
-Mengonsumsi antibiotik dengan benar dan sesuai resep dokter.
-Tidak berbagi antibiotik atau menggunakan antibiotik sisa orang lain.
-Mencuci tangan dengan benar dan rutin, terutama sebelum makan atau setelah menggunakan jamban.
-Menghindari kontak dengan orang sakit.
-Menyimpan bahan makanan dengan benar.
-Memasak makanan hingga benar-benar matang.
-Menjaga sanitasi rumah dan lingkungan.
-Menghindari kontak atau tidak bersalaman dengan orang yang terkena infeksi.
-Melakukan hubungan seksual yang sehat.
-Melakukan imunisasi sesuai jadwal.
Baca juga: Saran Dokter tentang Pemberian Antibiotik pada Anak