TEMPO.CO, Jakarta - Peter Sie dengan nama Tionghoa, Sie Tiam Le lahir di Bogor, Jawa Barat pada 28 Desember 1929. Anak bungsu dari tujuh bersaudara Sie Tjeng Hay, pemilik toko makanan di Bogor ini memang memiliki ketertarikan pada dunia jahit-menjahit sejak berusia 15 tahun. Ia pun mendapat bimbingan dari Mak Wek, penjahit keluarganya yang datang membimbingnya setiap dua minggu. Inilah yang menjadi batu loncatan pertama sebelum akhirnya dianggap sebagai perintis mode Indonesia.
Dua tahun kemudian, ia diajak ke Brelanda oleh kakak iparnya, Kho Han Gao. Di sana, ia menempuh pendidikan di Vakschool Voor Kleermaker & Coupeuse, Den Haag, Belanda pada 1947-1953. Saat itu pula, ia mempelajari dunia jahit di Negeri Kincir Angin. Lalu pada 1954, ia kembali ke tanah air dan langsung memulai debutnya sebagai penjahit tidak dikenal. Kala itu, langganan Peter adalah nyonya-nyonya keturunan Cina yang tinggal di sekitar rumahnya, Mangga Besar, Jakarta.
Mengutip Mode adalah Hidupku, pada 1958, ia mulai membuat sketsa-sketsa dan satu tahun kemudian ia mengadakan pameran di Hotel Des Indes (kini pertokoan Duta Merlin). Pameran tersebut sekaligus menjadi acara pengumpulan dana untuk korban kecelakaan kereta api di Trenggalek.
Semua yang datang pun harus membayar tiket dengan harga selangit, kecuali Fatmawati Soekarno lantaran menurut Peter, ia sangat tersisih setelah Ibu Hartini masuk ke kehidupan Bung Karno. Dari sini, namanya perlahan semakin terkenal lantaran ia memiliki ketelitian dan kehalusan dalam pengerjaan busana buatannya.
Pelanggannya pun tidak main-main, mulai dari para perempuan kalangan elite sampai keluarga Presiden Soekarno. Dini Ronggo, staf Peter Sie pun menjelaskan bahwa ia mengingat bagaimana Peter juga pernah diundang langsung membuat peragaan busana di Istana Negara semasa pemerintahan Presiden Soekarno.
Sayangnya pada 1974, ia sempat mengalami krisis ketika tidak seorang langganannya yang datang kepada Peter. Salah seorang anggota stafnya pun mencoba untuk memberi saran, “buat saja baju menjadi beberapa buah”. Peter pun mencoba mengimplementasikan saran tersebut. Alhasil, ia mulai membuat beberapa buah baju untuk setiap rancangan. Akhirnya, saran tersebut berhasil membuat Peter secara perlahan bangkit untuk mengambil kesuksesannya kembali dan karyanya yang dihargai tinggi semakin digemari pelanggannya.
Saat berada di posisi yang kukuh sebagai pelopor perancang busana, sebagian orang menyebutnya sebagai satu-satunya perancang haute couture Indonesia. Padahal, Peter tidak suka disebut seperti itu karena menjadi penjahit haute couture tidak sembarangan. Sementara itu, oleh sejumlah kalangan, Peter dianggap sebagai perintis mode Indonesia.
Pada 1980-an, Peter memutuskan absen dari dunia mode. Namun, pada 2001, ia hadir kembali dengan mengadakan pameran yang menampilkan sejumlah rancangan-rancangan lamanya serta meluncurkan buku otobiografinya dengan judul Mode adalah Hidupku. Buku ini menceritakan sepak terjang kehidupannya.
Peter tutup usia ketika berusia 82 tahun. Ia meninggal di rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Jenazah Peter disemayamkan di rumah duka Rumah Sakit Cikini, Jakarta Pusat, setelah sebelumnya dikremasi di rumah kremasi Oasis Lestari, Tangerang.
Merujuk surat kematian yang diterima rumah duka RS Cikini, penyebab meninggalnya perintis mode ini hanya dicantumkan keterangan “penyakit tidak menular". Namun, pihak dokter menyatakan kematian Peter Sie karena usianya yang telah lanjut.
RACHEL FARAHDIBA R
Baca juga: Peter Sie: Mode Adalah Hidupku
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.