TEMPO.CO, Jakarta - Periode penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir 17 Oktober 2024. Berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2014 beserta turunannya, ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring berakhirnya penahapan pertama tersebut.
Ketiga kelompok produk yang dimaksud adalah produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.
“Tiga kelompok produk tersebut harus sudah bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024. Kalau belum bersertifikat dan beredar di masyarakat, akan ada sanksinya,” kata Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham, lewat keterangannya.
Aqil menerangkan sanksi yang akan diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Menurut Aqil, sanksi tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam PP Nomor 39 Tahun 2021.
"Karenanya, sebelum kewajiban sertifikasi halal tersebut diterapkan, kami mengimbau seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal produknya. Saat ini, BPJPH membuka fasilitasi Sertifikasi Halal Gratis (Sehati). Ini buka sepanjang tahun bagi UMK yang mengajukan sertifikasi dengan mekanisme pernyataan halal pelaku usaha (selfdeclare)," ujarnya.
Kementerian Agama menetapkan kuota Sehati untuk tahun 2023 mencapai 1 juta. Pendaftaran untuk para pelaku usaha yang ingin mengikuti Sehati telah dibuka sejak 2 Januari 2023. Pendaftaran Sehati 2023 pelaku usaha dapat mengakses web resmi PTSP Halal atau mengunduh aplikasi milik Kementerian Agama Pusaka.
Syarat pendaftaran
Adapun syarat-syarat pendaftaran Sehati 2023 sesuai Keputusan Kepala BPJPH (Kepkaban) Nomor 150 tahun 2022, sebagai berikut:
-Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya.
-Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana.
-Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).
-Memiliki hasil penjualan tahunan (omset) maksimal Rp 500 juta yang dibuktikan dengan pernyataan mandiri.
-Memiliki lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) yang terpisah dengan lokasi, tempat dan alat proses produk tidak halal.
-Memiliki atau tidak memiliki surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT), Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan/minuman dengan daya simpan kurang dari tujuh hari, atau izin industri lainnya atas produk yang dihasilkan dari dinas/instansi terkait.
-Produk yang dihasilkan berupa barang sebagaimana rincian jenis produk dalam lampiran keputusan ini.
-Bahan yang digunakan sudah dipastikan kehalalannya.
-Tidak menggunakan bahan berbahaya.
-Telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal.
-Jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak mengandung unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah potong hewan/rumah potong unggas yang sudah bersertifikat halal.
-Menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau dilakukan secara manual dan/atau semi otomatis (usaha rumahan bukan usaha pabrik).
-Proses pengawetan produk sederhana dan tidak menggunakan kombinasi lebih dari satu metode pengawetan.
-Bersedia melengkapi dokumen pengajuan sertifikasi halal dengan mekanisme pernyataan mandiri secara online melalui SIHALAL.
Baca juga: Bocoran buat Pemilik Usaha Kecil, Cara Dapatkan Sertifikasi Halal