TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018, prevalensi gangguan pendengaran pada penduduk usia 50 tahun ke atas di Indonesia berkisar 2,6 persen. Artinya, 2-3 orang dari 100 orang mengalami gangguan pendengaran dan angka ketulian sebesar 0,09 persen. Suara bising dan kebiasaan menggunakan headset dalam jangka waktu lama berisiko memicu gangguan pendengaran.
Paparan kebisingan dengan intensitas di atas 80 desibel pada durasi lebih dari 40 jam per pekan dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan merusak sel rambut sensorik pada telinga bagian dalam, kata Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Eva Susanti, dalam Konferensi Pers Hari Pendengaran Sedunia 2023, Rabu, 1 Maret 2023. Ia mengatakan perangkat berteknologi canggih saat ini membuat tantangan dalam masalah pendengaran menjadi semakin kompleks.
"Akibat kebiasaan baru selama pandemi yang mengkondisikan banyak orang beraktivitas menggunakan piranti dengar dan sebagian besar abai pada kesehatan telinga," katanya.
Paparan bising
Ia mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 1 miliar anak muda berisiko mengalami gangguan pendengaran, terutama karena paparan bising seperti mendengarkan musik beraransemen bising dan sebagainya.
"Lebih dari 50 persen penduduk berusia 12 hingga 35 tahun mendengarkan musik melalui perangkat MP3 smartphone pada volume yang berisiko menurunkan kesehatan telinga," jelasnya.
Eva menambahkan paparan bising juga dapat dijumpai di lingkungan pabrik akibat gesekan benda keras yang memekakkan telinga. Situasi itu tidak hanya mengganggu pendengaran tapi juga berisiko menyebabkan penyakit jantung, gangguan tidur, hingga kognitif.
Pilihan Editor: Pentingnya Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Anak sebelum Usia 6 Bulan