TEMPO.CO, Jakarta - Semakin banyak lulusan Fakultas Kedokteran yang memilih menjadi kreator konten dan influencer dibanding praktik menjadi tenaga medis. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan menjadi influencer dengan latar belakang ilmu kedokteran adalah pilihan.
“Itu pilihannya, kita tidak bisa memaksa orang, pilihan pekerjaan itu hak asasi manusia,” kata Siti.
Siti mengatakan justru dokter yang menjadi influencer memiliki dampak yang juga besar kepada masyarakat, terutama untuk mengedukasi. Menurutnya, lulusan kedokteran memiliki kompetensi untuk memberikan pengobatan, mengambil tindakan atas suatu kesimpulan pemeriksaan, sehingga akan menjadi influencer yang lebih berbobot bila memilih profesi tersebut.
Namun, Siti mengatakan etika dalam menggunakan media sosial harus diperhatikan. Kebebasan berekspresi menurutnya juga memiliki batasan pada koridor-koridor tertentu. Hal ini perlu diterapkan agar tidak menyinggung, apalagi menyakiti pihak lain.
“Justru memiliki modal yang lebih baik karena dia memiliki pengetahuan dan kompetensi perihal kedokteran. Jadi, kalau dia jadi influencer harusnya bisa lebih mengedukasi,” ujar Siti. “Saya yakin berselancar di media sosial juga ada etikanya, jadi tolong diingat itu.”
Jumlah dokter kurang
Di sisi lain, ia mengakui jumlah tenaga medis, khususnya dokter, yang sangat minim dan hingga saat ini masih menjadi isu dunia kesehatan di Tanah Air. Siti menyebut hingga saat ini rasio perbandingan antara dokter dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 0,06 per seribu orang.
“Pilihan seorang dokter yang sudah menyelesaikan pendidikannya kemudian memilih profesi lain kita tidak bisa memaksakan, itu adalah pilihan tapi harus kita akui jumlah dokter itu memang kurang,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan Indonesia masih kekurangan 160.000 dokter. Menurutnya, diperlukan waktu setidaknya 14 tahun untuk memenuhi kekurangan jumlah tersebut. Menkes menyebut, kurangnya dokter mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan rasio dokter seharusnya 1 per 1.000 populasi. Artinya, jika penduduk RI mencapai 270 juta, maka diperlukan 270.000 dokter sementara jumlah dokter yang bekerja hanya berkisar 110.000.
Pilihan Editor: Bahaya Penggunaan Media Sosial Berlebihan Menurut Psikolog