TEMPO.CO, Jakarta - Hari Ginjal Sedunia diperingati setiap 9 Maret. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun menjelaskan tren penyakit ginjal kronis mulai bergeser dari awalnya banyak diderita lansia jadi lebih mengarah pada usia produktif.
“Jadi, bisa kami sampaikan kalau penyakit ginjal ini di dunia penyebab kematian nomor dua. Di Indonesia, merupakan penyebab kematian nomor 10,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Eva Susanti.
Eva menjelaskan berdasarkan pantauan Kemenkes sejak t2013, angka prevalensi penyakit ginjal kronis mencapai 2 persen. Namun, angka tersebut semakin meningkat di 2018 menjadi 3,8 persen atau 739.208 jiwa. Hal tersebut dapat dilihat melalui data Riskesdas 2018 yang menyebut prevalensi pasien penyakit ginjal kronis usia 15-24 tahun sudah 1,33 persen. Kemudian usia 25-34 tahun sudah berada pada angka 2,28 persen. Selanjutnya untuk usia 35-44 tahun berada pada 3,31 persen, usia 45-54 tahun 5,64 persen, usia 55-64 7,21 persen, usia 65-74 tahun 8,23 persen, dan 75 tahun ke atas mencapai 7,48 persen.
Bila dilihat dari jenis kelamin, laki-laki lebih mendominasi dengan 4,17 persen. Sementara prevalensi perempuan yang terkena ginjal kronis 3,52 persen, sebanyak 3,85 persen ditemukan di perkotaan. Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding perdesaan dengan angka 3,84 persen.
“Artinya, penyakit ginjal ini mulai meningkat justru pada usia produktif sampai lanjut usia. Kalau kita lihat bonus demografi usia produktif di Indonesia semakin banyak, jika penyakit ini kita tidak turunkan saat menghadapi bonus demografi, ini akan menjadi bencana demografi,” paparnya.
Faktor pemicu
Eva menyebutkan saat ini banyak kasus penyakit ginjal kronis ditemukan akibat pasien terkena diabetes tipe 2 dan hipertensi. Faktor risiko lain dari penyakit ginjal kronis, kondisinya masih bisa diberikan tata laksana medis dan diperbaiki. Misalnya kasus akibat konsumsi obat pereda nyeri, penggunaan NAPZA, dan pasien terkena radang ginjal.
Namun, ada juga faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat penyakit keluarga, kelahiran prematur, trauma di daerah abdomen (rongga tubuh), dan penyakit tertentu yang derita pasien seperti lupus, AIDS, dan hepatitis C. Hari Ginjal Sedunia pun bisa menjadi momentum untuk mengubah pola hidup menjadi lebih sehat. Caranya dengan mengatur pola makan sehat, rajin berolahraga, berhenti merokok, pola makan sehat, hingga mengelola waktu tidur dan stres dengan baik.
“Tentu kita berharap dalam peringatan Hari Ginjal Sedunia 2023 ini bisa menjadi peningkatan kepedulian masyarakat untuk bisa paham menjaga kesehatannya, terutama menghindari faktor-faktor risiko, sehingga kita lebih sehat dan lebih produktif ke depannya,” ujar Eva.
Pilihan Editor: Bagaimana Syarat dan Prosedur Donor Ginjal?