TEMPO.CO, Jakarta - Anak balita dengan postur yang gemuk dan berpipi chubby sering dianggap menggemaskan. Nyatanya, berat badan yang berlebihan pada anak berbahaya bagi kesehatannya. Perubahan gaya hidup yang serba cepat dan pola konsumsi tinggi gula dan makanan cepat saji menjadi salah satu faktor obesitas pada anak. Padahal, sejumlah penyakit kronis mengintai di balik berat badan berlebih, salah satunya diabetes.
Pada penelitian yang dilakukan Ikatan Dokter Anak Indonesia di Bali terhadap anak berusia 12-14 tahun ditemukan setidaknya 3 persen anak dari 431 subyek mengalami DM tipe dua. Dari jumlah itu, sebanyak 76,9 persen mengalami obesitas.
Dokter spesialis gizi klinik Diana F Suganda M.Kes, menyebutkan makanan yang direkomendasikan untuk segala usia terutama dalam hal ini anak-anak, tentu saja makanan dengan gizi seimbang. “Prinsipnya makan dengan kebutuhan kalori sesuai kelompok usia. Orang tua harus paham hal ini untuk menghindari asupan kalori berlebih pada anak sehingga terhindar dari risiko obesitas,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 13 Maret 2023.
Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan batita 16 bulan dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat bernama Muhammad Kenzi Alfaro yang memiliki berat badan 27 kilogram. Menanggapi kasus obesitas pada anak di Kabupaten Beksi itu, Diana mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan obesitas pada anak adalah asupan makanan.
“Mungkin saat si bayi sudah mulai makan, asupannya berlebih, sudah dibiasakan dengan makanan dan minuman manis. Mungkin terbiasa teh manis bukannya air putih atau dikenalkan dengan yang tinggi kalori, serba instan. Kalau setiap hari ya kalorinya pasti berlebih,” katanya.
Dia menegaskan bahwa obesitas terjadi karena multi-faktor, baik karena ada kelainan genetik dan juga ketidakseimbangan antara asupan dengan yang dikeluarkan, sehingga makin lama berat badannya akan naik.
Pola makan yang baik bisa dimulai sejak bayi, dimulai dengan pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama. “Pada usia 6-12 bulan belum dianjurkan untuk menambahkan gula. Terkait dengan kental manis, untuk anak di atas 2 tahun baru boleh sebagai tambahan di makanan atau minuman,” katanya.
Literasi kesehatan masih rendah
Peneliti dari Indonesian Health Economist Indonesia (InaHea), Mutia A Sayekti MHEcon menyebutkan, rendahnya literasi kesehatan adalah akar permasalahan dari munculnya banyak kasus malnutrisi.
Masyarakat yang lebih percaya mitos, rendahnya literasi gizi, ditambah adanya kekeliruan tentang makanan yang menjadi prioritas menjadi penyebab terjadinya obesitas pada anak seperti kasus bayi obesitas di Bekasi. “Ketidakpahaman ini kemudian dilakukan secara terus menerus tanpa konsultasi, tanpa mencari tahu, lalu ditambah dengan mungkin kondisi ekonomi yang kurang mendukung sehingga jangka panjangnya memunculkan obesitas pada anak,” kata Mutia.
Apalagi tak bisa dipungkiri masih ada persepsi bahwa makanan sehat itu mahal. Mutia mengingatkan bahwa makanan sehat bisa didapatkan dengan mudah dan murah. Ia mencontohkan, dengan uang Rp 20 ribu, seseorang sudah bisa mendapatkan makanan dengan komposisi gizi seimbang. “Sudah bisa untuk membeli telur, sayuran hijau, nasi, tempe atau tahu, satu sachet susu, dan tentu ditambah asupan air putih. Artinya memang kalau sudah paham, lagi-lagi literasi, maka tidak ada lagi statement makanan sehat itu mahal,” katanya.
Biasakan membaca label kemasan
Diana menambahkan bahwa penting juga agar para orang tua meningkatkan literasi gizi mereka. Literasi gizi harus sejak jauh hari, bahkan sebelum perencanaan kehamilan. “Pastikan orang tua atau calon orang tua memiliki ilmu gizi yang cukup. Ilmu ini bisa didapat dari banyak cara. Bisa bertanya pada ahlinya,mencari informasi di internet bagaimana cara mempersiapkan dan menjalani kehamilan yang sehat, bagaimana nutrisi ibu hamil yang tepat,” katanya.
Saat anak mulai mengkonsumsi Makanan Pendamping Air Susu Ibu, pastikan orang tua memahami bahwa anak butuh makan dalam bentuk gizi seimbang. “Makan sesuai kebutuhan bukan keinginan si anak atau keinginan orang tua. Terapkan pemahaman gizi yang kita miliki dalam bentuk mengatur asupan gizi anak sehari-hari,” kata dokter gizi dari RSPI Bintaro Jaya ini.
Untuk membatasi asupan gula dan garam, ia pun menyarankan agar masyarakat membaca label kemasan untuk mengetahui jumlah kalori yang tersedia. “Pastikan juga kadar gulanya, misalnya per satu kali penyajian, 10 gram gula. Kalau dihabiskan satu botol ada dua kali saji, berarti 20 gram gulanya. Sedangkan kebutuhan gula pada anak-anak saja 30 gram perhari. Bedakan dengan orang dewasa yang kebutuhan gulanya 50 gram perhari,” katanya mencontohkan.
Hal itu juga berlaku pada asupan garam. Misalnya dalam mie instan ada 1500mg garam, padahal kebutuhan garam atau natrium cuma 2000 mg perhari.
Pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan literasi nutrisi masyarakat khususnya di level keluarga, menurut Mutia bisa dimulai dengan melengkapi Sertifikat Elektronik Siap Nikah (Elsimil) dengan memasukkan informasi spesifik tentang memilih bahan makanan, daftar bahan makanan penukar, kemampuan membaca label makanan yang merupakan pengetahuan standar terkait nutrisi. “Tentunya informasi dan pengetahuan ini harus terus diberikan kepada masyarakat melalui beragam pertemuan, baik formal maupun informal agar terbentuk konsistensi informasi di benak setiap individu. Yang pada akhirnya semoga bisa memberikan perubahan di level masyarakat dalam menjalani pola hidup sehat dan memiliki literasi gizi yang baik,” kata Mutia.
Pilihan Editor: Cegah Anak Obesitas dengan Edukasi Gizi sejak Orang Tua Belum Menikah
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.