TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut pangan lokal memiliki cukup kandungan protein hewani untuk mengatasi stunting. Di sisa masa jabatan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin yang sekitar 1,5 tahun lagi, Kemenkes akan memastikan setiap target sasaran penanganan stunting mengonsumsi makanan yang mengandung protein hewani.
“Jadi, bagaimana menyiapkan masyarakat sekitar untuk menyediakan pangan lokal yang sebenarnya cukup untuk mencegah anak stunting karena gizinya adalah protein hewani. Jadi, itu yang sedang digencarkan satu tahun ini,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi.
Asupan protein hewani itu bisa didapat dengan mudah dan murah oleh setiap keluarga untuk memenuhi gizi ibu hamil dan balita, misalnya melalui susu, ikan, dan telur. Di sisi lain, pemenuhan asupan protein hewani juga diimbangi dengan sosialisasi perubahan pola makan keluarga agar takaran setiap zat menjadi lebih seimbang dan mendongkrak kesehatan, juga kecerdasan anak.
“Kalau dulu pola makan mending banyak nasi, sekarang tidak. Kita banyakan lauknya, nasinya sedikit supaya anak Indonesia lebih cerdas, tapi itu tidak harus beli,” ucap Nadia.
Perhatikan kesehatan calon ibu
Ia menyatakan kedua sosialisasi itu dibarengi pula dengan pernyataan ayah perokok bisa mengurangi biaya anak untuk bisa menikmati makanan yang mengandung protein hewani.
“Pak Menteri sering sampaikan kalau bapak-bapak sehari merokok satu bungkus, uangnya bisa cukup untuk membeli telur buat dua minggu. Itulah yang juga menjadi fokus kita saat ini,” jelasnya.
Nadia menyatakan percepatan penanganan stunting tidak bisa hanya difokuskan pada anak saja. Penanganan harus turut memperhatikan kesehatan calon ibu sejak remaja putri agar tidak terkena anemia. Sedangkan ketika hamil, calon ibu tidak boleh terkena anemia dan gizinya harus tercukupi dengan baik untuk membangun sel-sel penunjang dalam tubuh.
“Tidak boleh lupa ibunya karena intervensi anak itu ditentukan ibu, bagaimana ASI eksklusifnya, bagaimana ibu tidak anemia selama menyusui itu juga jadi penting. Kedua, ibu cukup makanannya. Ketiga, kalau anaknya (kena stunting), kembali ASI eksklusifnya, imunisasinya, juga pola makan protein hewani. Jadi, itu intervensi yang tidak boleh dilewatkan,” paparnya.
Menanggapi fokus penanganan stunting yang selalu diberikan melalui Pendamping Makanan Tambahan (PMT) di posyandu, Nadia menjelaskan upaya tersebut merupakan salah satu cara yang paling mudah untuk diberikan pada target sasaran. Misalnya makanan yang sudah terfortivikasi sehingga memenuhi kandungan gizi pada ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronik (KEK), dan balita kurus usia 6-59 bulan yang indikator berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari standar yang ditentukan.
“Tapi sekarang kita sudah melakukan perubahan, nanti pengawasannya seperti apa karena kita memberi PMT yang sifatnya makanan lokal. Jadi, akan dikelola posyandu. Posyandu langsung memberikan pada anak. Kembali lagi, ada beberapa hal pola asuh, kemudian penamatan stunting tadi,” ujarnya.
Pilihan Editor: Daun Kelor Bisa Jadi Solusi Atasi Malnutrisi Berbasis Pangan Lokal
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.