TEMPO.CO, Jakarta - Modifikasi cuaca adalah perubahan kondisi atmosfer yang disengaja atau tidak disengaja oleh aktivitas manusia. Namun, kalau bicara tentang “teknologi”, dapat dipastikan bahwa perubahan yang dimaksud mengacu kepada suatu kesengajaan. Teknologi modifikasi cuaca mampu untuk mengubah cuaca pada skala lokal maupun regional.
Manusia telah lama berusaha mengubah fenomena atmosfer seperti awan, hujan, salju, kilat, badai petir, tornado, angin topan, hingga siklon. Era modern modifikasi cuaca ilmiah dimulai pada 1946 dengan karya Vincent Schaefer dan Irving Langmuir, peneliti asal New York. Schaefer menemukan bahwa ketika butiran es kering (karbon dioksida beku) dijatuhkan ke dalam awan yang terdiri atas tetesan air di kotak pembeku, tetesan dengan cepat berubah menjadi kristal es yang ukurannya membesar, lalu jatuh ke dasar kotak.
Eksperimen Schaefer-Langmuir menunjukkan bahwa apa yang disebut awan superdingin (awan yang terdiri atas tetesan air pada suhu di bawah titik beku) dapat menghilang. Ketika awan yang sangat dingin ditaburi butiran es kering, kristal es terbentuk dan tumbuh cukup besar untuk jatuh dari awan.
Zat tertentu selain es kering dapat digunakan untuk menyemai awan. Misalnya, ketika perak iodida dan timbal iodida dibakar, mereka menghasilkan asap dari partikel-partikel kecil. Partikel-partikel ini menghasilkan kristal es pada awan superdingin di bawah suhu sekitar −5 derajat celsius saat tetesannya menguap. Uap air kemudian bebas mengendap ke kristal perak iodida atau timbal iodida.
Meskipun banyak bahan lain yang dapat membentuk kristal es, dua zat yang disebutkan di atas adalah yang paling banyak digunakan. Sebagian besar es kering tersebar dari pesawat terbang, tetapi inti perak iodida bisa dihasilkan di tanah dan dibawa ke atas oleh arus udara atau pesawat terbang maupun diproduksi oleh perangkat piroteknik seperti roket atau peluru artileri.
Berbagai macam uji ilmiah dan proyek modifikasi cuaca operasional telah dilakukan di banyak negara. Program terbesar ada di Amerika Serikat, eks Uni Soviet, Australia, dan Prancis.
Sebagian besar program modifikasi cuaca di Amerika Serikat mengatasi hujan atau salju. Meskipun masih ada banyak perdebatan tentang keefektifan metode penyemaian awan, bukti menunjukkan bahwa dalam kondisi meteorologi tertentu, penyemaian inti es dapat meningkatkan curah hujan hingga beberapa puluh persen. Dalam kondisi lain, penurunan curah hujan bisa terjadi atau penyemaian tidak memiliki efek apa pun.
Di Rusia dan Afrika Selatan, program utama modifikasi cuaca ditujukan untuk mengurangi jatuhnya hujan es yang merusak. Eksperimen di bidang ini tampaknya berhasil. Prosedur melibatkan proses memasukkan inti es ke dalam awan hujan es potensial melalui artileri atau roket. Sementara itu, upaya modifikasi hujan es di negara lain memiliki keberhasilan yang beragam.
Sejumlah badai juga pernah disemai dengan inti es oleh para ilmuwan Amerika. Meskipun hasilnya tidak meyakinkan, beberapa ahli meteorologi percaya bahwa intensitas badai bisa dikurangi dalam beberapa kasus. Namun, sebelum menyatakan bahwa badai dapat dimodifikasi secara menguntungkan, masih perlu dilakukan lebih banyak penelitian.
Selain itu, belum ada lagi program di negara mana pun yang mencoba untuk menyemai badai. Upaya terbatas untuk memodifikasi siklon lintang tengah di masa lalu tidak berhasil. Dalam kasus tornado, pengetahuan tentang struktur dinamisnya masih terbatas sehingga tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk mengendalikan fenomena ekstrem tersebut.
Ada banyak kesalahpahaman tentang status modifikasi cuaca saat ini. Teknik modifikasi cuaca modern sebagian besar berkaitan dengan kondisi awan yang ada. Tidak ada hal yang menjadi dasar bahwa metode penyemaian awan dapat menjadi solusi utama kekeringan di suatu wilayah. Kekeringan akibat musim kemarau dihasilkan dari perubahan sirkulasi atmosfer yang menyebabkan ketiadaan awan di langit. Ketika tidak ada awan, penyemaian tidak akan bisa dilakukan.
Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia
Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia biasa disingkat dengan istilah TMC. Sejarah TMC di Tanah Air sudah dimulai sejak 1977 dengan adanya proyek hujan buatan. Cuaca ekstrem yang terjadi kala itu membuat pemerintah harus menanggulangi kekeringan. Saat ini, TMC juga dilakukan sebagai langkah pencegahan cuaca ekstrem.
TMC berkaitan erat dengan siklus hidrologi di atmosfer. Keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh arah dan besaran angin. Oleh karena itu, rasio keberhasilan implementasi TMC kurang lebih hanya sebesar 50 persen, tergantung pada cakupan cuaca wilayah yang hendak dimodifikasi.
Penerapan TMT di Indonesia melibatkan sejumlah instansi seperti BMKG, BRIN, dan Angkatan Udara untuk memulai proses penaburan garam menggunakan pesawat terbang untuk menyemai awan di wilayah yang telah ditentukan. Itu bertujuan mempercepat pergerakan terjadinya hujan. Awan pun dialihkan ke lokasi tertentu, misalnya laut, dengan melihat perhitungan intensitas hujan yang bakal terjadi.
NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM