TEMPO.CO, Jakarta - Talasemia adalah penyakit kelainan darah merah bawaan akibat berkurangnya rantai protein (goblin) pembentuk hemoglobin utama setiap tahunnya. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut penyakit talasemia bisa mempengaruhi tumbuh kembang secara fisik maupun psikososial anak dalam berkegiatan sehari-hari.
“Talasemia memang belum bisa disembuhkan tetapi dapat dicegah sehingga kita harus melakukan skrining kepada golongan berisiko tinggi sebelum menikah,” kata Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI, Teni Tjitra Sari.
Ia menuturkan seiring dengan bertambahnya usia, pasien talasemia rentan mengalami infeksi seperti hepatitis C maupun komplikasi akibat penumpukan zat besi dalam tubuh. Kemudian, karena harus menjalani transfusi darah secara terus menerus, dalam banyak kasus pasien talasemia mengalami perubahan bentuk tubuh seperti muka pucat akibat sel darah mudah hancur, perut membuncit, hingga gigi tampak lebih maju.
“Kalau perut membuncit berisiko pecah itu tidak. Tetapi kalau terjadi benturan bisa pecah ataupun tulang juga semakin menipis sehingga kalau terjadi infeksi atau patah tulang ini akan sulit untuk disambung lagi,” paparnya.
Menurutnya, perubahan fisik itu kemudian menyebabkan pasien harus menghadapi masalah psikososial seperti menerima stigma sosial yang dilihat sebagai orang penyakitan. Hal ini berdampak pada munculnya rasa rendah diri, inferior, dan tidak percaya akan kemampuan yang dimiliki.
Keluarga malu
Selain itu, talasemia juga menyebabkan keluarga merasakan penderita adalah sebuah aib yang membuat malu. Pada situasi ini, Teni bercerita banyak pasien memikirkan apakah mereka masih bisa bekerja atau menikah. Pemikiran tersebut akhirnya mendorong munculnya rasa jenuh dan bosan dalam diri pasien untuk melakukan pengobatan rutin seumur hidup. Mirisnya, tren usia pasien talasemia mulai berubah ke arah usia remaja sehingga lebih rentan stres dan berpotensi berhenti berobat.
“Ini jadi bahan pemikiran mereka dan sering terjadi pada remaja, jadi anak mulai bosan berobat, jenuh, malas minum obat sehingga komplikasi akan timbul lebih cepat. Keluarga juga malu karena anaknya sakit,” jelasnya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, juga mengatakan talasemia merupakan penyakit nomor lima terbesar dari urutan penyakit katastropik menurut data BPJS Kesehatan. Selain mampu membuat sel darah dalam tubuh mudah hancur, talasemia juga membuat penderitanya tak jarang mengalami perubahan fisik. Hal itu memicu terjadinya diskriminasi serta ejekan kepada pasien ketika menjalani aktivitas sehari-hari.
Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk aktif memutuskan rantai penurunan talasemia dengan melakukan skrining kesehatan sebelum menikah untuk mengidentifikasi pembawa sifat atau carrier guna menghindari pernikahan antara sesama pembawa sifat, terutama dalam keluarga pada satu keturunan. Di sisi lain, ia meminta sosialisasi terkait talasemia terus disebarkan agar masyarakat lebih mudah memahami cara pencegahan hingga tatalaksana berobatnya.
“Mari bersama-sama kita berkontribusi dengan peran masing-masing untuk sadar, peduli dan sebarluaskan edukasi tentang talasemia untuk perawatan yang lebih baik. Penting mengetahui status diri terutama untuk pembawa sifat atau bukan,” imbaunya.
Pilihan Editor: Waspadai Thalassemia pada Anak, Cek Gejalanya
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.