TEMPO Interaktif, Jakarta -Tiga pekan sebelum menginjakkan kaki di Jakarta, Richard (bukan nama asli) mengalami kecelakaan motor saat melancong di suatu kawasan wisata Thailand. Pemuda berusia 32 tahun asal Amerika Serikat ini mengalami cedera di daerah pergelangan kaki. Anehnya, semenjak itu dia kerap mengalami sesak napas dan merasakan sakit di dada. Setelah diperiksa dokter spesialis paru di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta, Richard dinyatakan menderita emboli paru atau Pulnomary Embolism (PE). Dokter mengatakan ada banyak gumpalan darah beku melayang di parunya.
Dalam diskusi mengenai penggumpalan darah di pembuluh vena (Venous Thromboembolism/VTE) di Wisma Nusantara, Jakarta, pekan lalu, dokter spesialis jantung dan kardiovaskular Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, dr RWM Kaligis MD, menyatakan trauma kecelakaan memang bisa menyebabkan cedera langsung pada pembuluh darah. Cedera akibat benturan benda tumpul saat kecelakaan motor itu pun dapat memicu penggumpalan di pembuluh darah vena. "Penggumpalan itu nantinya pecah dan berjalan ke paru-paru sehingga menghalangi aliran darah," ujarnya seusai diskusi.
Pada kasus lain pernah didapati satu penumpang maskapai penerbangan Australia, Qantas, tewas sesaat setelah mendarat di bandara. Menurut Kaligis, pada waktu itu si penumpang juga divonis emboli paru. Kematian mendadak si penumpang diindikasi akibat pecahnya gumpalan darah di paru yang menyumbat sirkulasi darah--seperti pada kasus Richard.
Saat dokter merekam jejak medisnya, ternyata dia memang memiliki riwayat trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT)--salah satu bentuk penyakit akibat penggumpalan darah di pembuluh vena. Biasanya penggumpalan darah terjadi di bagian kaki. Dari banyak literatur, disebutkan bahwa sepertiga orang yang menunjukkan gejala DVT otomatis mengalami emboli paru dan sekitar 10-25 persen kasus PE berakibat fatal. Umumnya dalam waktu dua jam setelah gejala terlihat.
Dalam penerbangan jarak jauh, pergerakan badan penumpang memang terbatas. Penumpang tidak sadar selama berjam-jam kakinya tertekuk kaku. Akibatnya, aliran vena di kaki menjadi terhambat dan bukan tidak mungkin menimbulkan gumpalan darah. Menurut Kaligis, kejadian seperti ini memang tidak banyak. Karena itu, pada penerbangan jarak jauh ke luar negeri ada video senam kaki. "Waspada ketika menjalani penerbangan lebih dari empat jam," ia mengingatkan.
Baca Juga:
Selain itu, penggumpalan darah di vena berisiko tinggi menimpa pasien yang terbaring lama di rumah sakit. Selama terbaring, dapat dipastikan otot pasien tidak bergerak atau berkerut. Padahal, aliran darah vena balik itu memerlukan kerutan otot untuk membuka jalannya. Selama ini orang tidak memperhatikan kalau pompa otot yang diharapkan aliran darah vena. Berbeda dengan aliran arteri yang dipengaruhi oleh pompa jantung. Karena itu, pasien gagal jantung atau pasien yang tinggal menunggu waktu tidak memiliki performa baik pada pompa otot betisnya. "Makanya pasien-pasien yang dirawat lama harus ada bantuan juga dari physiotherapy."
Yang patut diingat, bukan aliran darah saja yang mempengaruhi pasien berisiko tinggi terkena VTE. Ada tiga faktor utama, yakni cedera pada pembuluh darah, pelambatan aliran darah, dan bakat hiperkoagulitas--penggumpalan atau pembekuan darah secara berlebihan--pada seseorang. Artinya, bukan hanya kerap melakukan perjalanan ke luar negeri dan cedera kecelakaan motor yang berujung pada VTE. "Pasien saya juga ada yang riwayatnya sering diurut, lalu terkena emboli paru. Namun, VTE-nya tetap dipicu oleh ketiga faktor utama tersebut," ujarnya. VTE sendiri bisa terjadi dalam dua bentuk, yaitu trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE).
Penggumpalan darah di pembuluh vena adalah penyakit kardiovaskular di peringkat ketiga setelah penyakit jantung dan stroke. Kerap terjadi tanpa diketahui secara klinis dan tanpa gejala. Faktor risiko tertinggi, menurut spesialis ortopedi dari Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Dr dr Andri Maruli Tua Lubis SpOT, adalah pasien yang menjalani bedah elektif ortopedi mayor. Terutama bedah penggantian sendi panggul (total hip replacement/THR) atau sendi lutut total (total knee replacement). "VTE terjadi pada 40-60 persen pasien bedah ortopedi yang tidak menerima terapi pencegahan penggumpalan darah," kata Andri dalam kesempatan yang sama.
Menurut Andri, perlakuan operasi ortopedik besar akan membentuk VTE jika tidak diberikan tromboprofilaksis--pemberian heparin--yang tepat. Ia menambahkan, kenaikan risiko itu disebabkan oleh rusaknya dinding pembuluh darah, sumbatan aliran darah, statis vena, dan peningkatan daya kemampuan pembekuan darah si pasien pasca operasi. "Faktor risiko multiple pada seorang pasien dapat mempengaruhi peningkatan risiko selanjutnya," katanya.
Sayangnya, kewaspadaan VTE di kalangan dokter Indonesia, khususnya ahli bedah diakui Andri masih agak kurang. Selama ini dokter di Asia tidak begitu percaya bahwa VTE bisa menimpa pasien dengan alasan adanya perbedaan ras. Namun, sejumlah studi di Asia pada pada dekade 90-an hingga 2000 menunjukkan prevalensi tahunan VTE mencapai 1-2 per 1.000 orang. Risiko terkena penyakit ini meningkat empat hingga enam kali lipat pada orang berusia 80 tahun ke atas dan lima sampai 10 kali selama masa kehamilan.
Yang jelas, para dokter harus menyadari adanya risiko penggumpalan darah pada pasien pascaoperasi besar. Untuk pencegahan memang bukan cuma dengan terapi obat oral antikoagulan (anti penggumpalan darah). Tetapi, pengobatan diperlukan bagi mereka yang menjalani operasi besar dan memiliki risiko tinggi terkena VTE.
HERU TRIYONO
Sederet Fakta
1. Penggumpalan di pembuluh vena (VTE) adalah gangguan jantung ketiga tertinggi setelah penyakit jantung iskemik dan stroke.
2. VTE sulit didiagnosis karena pada sebagian pasien tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas.
3. Yang berisiko adalah mereka yang menjalani bedah ortopedi mayor dan pasien rawat inap untuk kondisi medis akut.
4. VTE menyumbang 10 persen dari kematian di rumah sakit.
5. Di Amerika Serikat, 12 juta pasien memerlukan trombofilaksis setiap tahun sehingga tingkat risiko VTE pada pasien rawat jalan mengejutkan.
6. Di Eropa, jumlah kematian akibat VTE lebih besar ketimbang karena kanker payudara, prostat, HIV/AIDS, dan kecelakaan lalu lintas. |