TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat sosial Devie Rahmawati meminta pemerintah menyosialisasikan pemahaman masyarakat untuk menambah cakupan ASI eksklusif untuk meningkatkan gizi anak serta mencegah stunting. Pengamat dari Universitas Indonesia itu mengakui masih banyak kesalahpemahaman di masyarakat terkait susu tambahan untuk pertumbuhan anak yang diberikan hanya berdasar pengetahuan keluarga secara turun temurun.
"Nenek saya, ibu saya, tetangga saya, tante saya begitu semua. Ini yang kemudian jadi rujukan bahwa itu adalah hal yang baik-baik saja,” kata Devie, Senin, 19 Agustus 2024, terkait kebiasaan memberikan produk susu formula pada anak.
Produk kental manis termasuk salah satu yang kerap dianggap sebagai produk minuman susu yang diberikan kepada anak. Penyebabnya kesalahan turun-temurun yang diwariskan dari generasi sebelumnya tanpa ada koreksi. Menurutnya, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat adalah melalui edukasi gizi dan mendorong pemberian ASI eksklusif.
Meski demikian, ada beberapa pengecualian bagi ibu yang tidak bisa memberikan ASI kepada anak karena alasan medis, misalnya mengidap penyakit menular seperti HIV atau tuberkulosis. Selain itu, ibu yang sedang menjalani pengobatan berat seperti kemoterapi dan obat antituberkulosis, yang merupakan obat dengan efek samping keras, juga disarankan untuk tidak menyusui bayinya dulu. Dalam situasi ini, pemberian pengganti ASI seperti susu formula jadi alternatif untuk pemenuhan gizi bayi.
“Kalau kondisi fisik atau fisiologisnya memang tidak mampu maka baru diperkenankan memberi susu formula,” ujar Devie.
Regulasi terkait susu formula
Pemerintah melakukan pengetatan regulasi terkait susu formula bayi dan produk pengganti ASI lainnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tercantum larangan bagi produsen dan distributor susu formula bayi serta produk pengganti ASI lain untuk melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif.
Larangan ini mencakup pemberian sampel gratis, penawaran kerja sama kepada fasilitas kesehatan, pemberian potongan harga, hingga promosi melalui media massa dan media sosial. Meski memiliki tujuan akhir yang jelas, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra dan menjadi perdebatan publik. Beberapa ibu menyebut masih butuh produk susu alternatif sebagai tambahan pemenuhan ASI buat anak.
“Ibu yang waras pasti maunya kasih ASI eksklusif untuk anak, enggak cuma sampai enam bulan, kalau bisa pasti diteruskan sampai dua tahun. Tapi, enggak semua ibu seberuntung itu. Banyak yang ASI-nya terputus dengan berbagai alasan dan mau tidak mau harus kasih susu tambahan untuk anak," kata Atikah, ibu dua anak asal Bekasi yang memberikan ASI eksklusif pada buah hatinya namun mengaku masih butuh produk susu tambahan.
Pilihan Editor: Perlunya Tempat Kerja Menyediakan Dukungan Konselor Laktasi