TEMPO Interaktif, Jakarta - Pandemi influenza A H1N1 alias flu babi tak terbendung. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, saat ini jumlah kasus positif virus ini di sejumlah negara hampir mencapai angka 100 ribu dan 400 lebih penderita meninggal. Di Indonesia, jumlah kasus ini melonjak. Terakhir, tiga pesantren di Jawa terserang flu ini.
Faisal Yunus, salah satu pakar pulmonologi dan pernapasan dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, menjadi referensi untuk kasus flu yang menghebohkan itu. Dia menilai bahwa lonjakan jumlah kasus flu babi di Tanah Air disebabkan oleh lemahnya pengawasan di pintu-pintu masuk pelabuhan dan bandara internasional. Dia menyebutkan, seperti di Jepang dan Cina, pengawasan masuknya virus sudah dilakukan sejak penumpang masih di dalam pesawat.
"Tetapi saya berharap, masyarakat kita jangan terlalu cemas dan membesar-besarkan flu babi yang fenomenal ini," katanya saat ditemui di ruang kerjanya di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta, Senin pekan lalu.
Faisal menjelaskan, saat ini posisi flu babi berpotensi sebagai periuk pengaduk. Namun, flu babi menimbulkan angka kesakitan yang tinggi dengan angka kematian rendah. Virus ini ada sepanjang tahun, tapi wabahnya biasa terjadi pada musim gugur dan dingin.
Virus babi klasik (virus tipe A H1N1) yang diisolasi pertama kali pada 1930 memiliki kelemahan, yaitu akan mati jika dipanaskan pada 700 derajat Celsius, disiram alkohol 70 persen, lisol 5 persen, disiram zat pemutih, dan dapat hidup hanya dua jam di luar tubuh. Menurut dia, cara-cara penularan virus flu babi antarmanusia melalui droplet (semprotan cairan halus) dari bersin dan batuk, kontak langsung, kontak tidak langsung (peralatan yang tercemar), serta tidak menular lewat makan daging babi yang dimasak.
Masa inkubasinya, Faisal menerangkan, antara 1-7 hari, tapi lebih sering 1-4 hari H1N1 pada manusia menular pada satu hari sebelum onset sakit sampai tujuh hari setelah onset. Pada anak, dapat menular sampai 10 hari. "Namun, tidak perlu khawatir. Asalkan daya tahan (tubuh) bagus, flu ini tak akan mematikan," ujarnya.
Menurut Faisal, selain flu babi, belakangan penyakit yang berhubungan dengan paru dan pernapasan cukup melonjak tinggi, seperti SARS, flu burung, dan banyak lagi, yang berpotensi muncul serta melanda Indonesia.
"Saya beranggapan bahwa maraknya penyakit dalam ilmu ini akan memberikan peluang besar bagi dunia kedokteran di Indonesia, terutama paru-paru dan pernapasan," katanya sambil menyebutkan, di Indonesia penyakit kedua bagian itu adalah paru, tuberkulosis, dan asma, dengan angka kematian cukup tinggi.
Kendalanya adalah kedokteran paru di Indonesia sedikit, tidak sampai 10 universitas. Padahal peminatnya cukup tinggi. "Kejadian luar biasa di bidang ilmu ini makin berpotensi besar supaya membuka peluang penambahan tempat yang bisa menampung peminat calon dokter paru-paru," ucapnya. Saat ini jumlah dokter paru di Indonesia cuma sekitar 700.
Menekuni bidang pulmonologi adalah cita-cita Faisal sejak kecil. Anak kedelapan dari sembilan bersaudara ini sejak kecil menyenangi dunia buku, sehingga ia memakai kaca mata tebal minus tujuh dan sering diledek teman-temannya sebagai dokter. "Ada perasaan bangga, ya, sudah ledekan itu dinikmati hingga akhirnya masuk kuliah kedokteran di UI."
Sempat mencicipi masa kecil di Batu Sangkar, Padang, namun di kelas terakhir sekolah dasar, ia hijrah ke Jakarta. Ayahnya yang seorang guru banyak memberikan ilmu tentang kehidupan. Penyuka masakan Jepang itu mengenang kalimat yang selalu diucapkan sang ayah, kalau kita berbuat baik, hasilnya pasti tidak keliru.
Hidup seseorang itu terukur dari apa yang dilakukan. Kalau menanam padi, tumbuhnya pasti padi; kalau menanam jagung, hasilnya pun sama. "Ayah banyak memberikan masukan hidup sederhana dan menerapkan hati nurani. Tidak sombong dan harus kerja keras."
Soal tekad dan semangat kerja keras, pelahap buku serta penyuka film itu makin teruji saat kuliah di Jepang. Di Negeri Matahari Terbit ini, segudang pengalaman yang bertautan dengan soal nilai-nilai kemanusiaan makin terasah. Ada hikmahnya ketika sang ayah mengajarkan sisi humanis sehingga membuatnya tahan banting, seperti menghadapi penantian panjang saat mau diangkat menjadi pegawai negeri di Departemen Kesehatan dan tempat bekerjanya kini.
"Saya lulus dari Jepang pada 1983 dan langsung ditawari bekerja di sini. Namun, saya sempat menjadi pegawai yang tidak dibayar selama tiga tahun karena alasan administrasi. Untung saya pantang menyerah dan membuktikan bahwa nasihat ayah membuahkan berkah. Saya menemukan jalan ke luar dan bisa seperti sekarang," Faisal menambahkan.
Riwayat Hidup:
Nama: Prof Dr Faisal Yunus, PhD
Lahir: Batu Sangkar, Sumatera Barat, 8 Juli 1952
Status: Menikah dan punya tiga anak
Pendidikan:
1976, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Jakarta
1983, Pulmonologi & PhD, Universitas Hiroshima, Jepang
2003, Profesor di FKUI, Jakarta
Riwayat Pekerjaan:
1986-sekarang, Staf di Departemen Pulmonologi dan Kesehatan Pernapasan, FKUI, Jakarta
1992-sekarang, Koordinator Peneliti Departemen Pulmonologi dan Kesehatan Pernapasan, FKUI, Jakarta
1993, Supervisor Klinik Asma, Departemen Pulmonologi dan Kesehatan Pernapasan, FKUI, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
1993-1996, Kepala Pelaksana Subdivisi Penyebaran Paru, Departemen Pulmonologi dan Kesehatan Pernapasan, FKUI, RS Persahabatan, Jakarta
1993-2002, Ketua Laboratorium Departemen Pulmonologi dan Kesehatan Pernapasan, FKUI, RS Persahabatan, Jakarta
1998-2007, Direktur Program Pelatihan Departemen Pulmonologi dan Kesehatan Pernapasan, FKUI
2004-2008, Manajer Penelitian dan Pelayanan Publik, FKUI
Organisasi:
2002, Ikatan Dokter Indonesia
1993-1999, Asosiasi Pulmonologi Indonesia
1993-2001, Yayasan Asma Indonesia
1994-1999, Pemimpin Redaksi Jurnal Respirologi Indonesia
1999-sekarang, Aktif di Perhimpunan Pulmonologi dan Paru Indonesia
2002-2011, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Publikasi dan Buku:
Pulmonologi Klinik, Diagnosis dan Pengobatan Kanker Paru, Penyakit Paru Obstruktif Menahun
HADRIANI P