TEMPO Interaktif, Jakarta - Namanya diambil dari tokoh cerita rakyat Jawa abad ke-9. Tapi tentu bukan karena nama semata resto ini memikat lidah banyak ekspatriat. Di sini mereka mendapatkan sekaligus dua keeksotisan tanah Jawa: makanan dan atmosfernya.
Menu paling populer di sini adalah sejumlah makanan yang di daftar menu digolongkan dalam “Pasar Nelayan Kampoeng Toegoe”. Diilhami perjalanan Raja Hayam Wuruk saat menyusuri pesisir pantai utara Pulau Jawa.
Seperti namanya, menu yang bisa disantap lebih dari dua orang ini terdiri atas makanan laut yang dibakar. Ada sate kerang, sate cumi, sate udang, kepiting, ikan ekor kuning, ikan kembung, dan ikan bawal bumbu gurih. Disajikan lengkap di atas perahu kecil, menu ini diberi aksesori rumah kerang.
Untuk melengkapi sajian itu, kita bisa mencocolkannya ke enam sambal pilihan: sambal kecap, sambal hijau padang, sambal tomat, sambal dabu-dabu manado, sambal matah bali, dan sambal terasi. Di luar itu, masih ada 16 sambal lain. “Di antaranya sambal bunga kecombrang, sambal mangga, dan sambal tutuk campur ikan asin jambal,” ujar Kiki Priliani, Sales Executive Manager Lara Djonggrang.
Yang tak kalah menarik adalah minumannya. Ada es campur mahameru (es serut yang bentuknya seperti puncak gunung) berisi kelapa, cincau hijau, dan buah siwalan (buah aren) serta buah delima, yang jarang didapat di kota-kota metropolitan.
Konsep masakan ini disusun Annette Anhar, putri pemilik restoran: Anhar Setiadi Brata. Annette suka sekali masakan Indonesia. Ia membuat konsep menu masakan Indonesia berkelas fine dining yang cocok disantap dengan anggur (wine).
Interior restoran ini juga amat kental nuansa etniknya. Nuansa etnik adalah benang merah sejumlah restoran milik Anhar. Pria 60 tahun itu memang kolektor serius benda seni dan sejarah.
Resto ini menyediakan tiga ruangan khusus (Soekarno, Malang, dan Bali) bernuansa Nusantara. Anhar mengaku menghargai bangsa Cina sebagai bangsa pertama yang melakukan perjalanan ke Indonesia lewat Jalur Sutra dan mengabadikan nama raja gula Oei Tiong Ham dari Semarang yang berjaya pada 1900-an.
Pemilik resto ini juga merancang La Bihzad Bar & Lounge, yang didedikasikan pada kenangan atas pelukis besar asal Persia, Bihzad, dari abad ke-16--yang lukisannya dimusnahkan oleh kelompok Taliban.
Lalu ada Pasar Trowulan yang merupakan ruangan semi-terbuka dalam konsep lebih informal. Tanpa pendingin, berbangku sederhana, makan tak memakai garpu dan sendok, dan ada tukang jamu.
Harga makanan bergerak mulai Rp 10 ribu (tersedia sekitar 90 macam di luar menu penutup) hingga termahal Rp 398 ribu. Djonggrang membuat kita bisa semakin mencintai Indonesia dan keragaman budaya yang memancar dari cita rasa masakannya.
EVIETA FADJAR
Lara Djonggrang & La Bihzad Bar
Jalan Teuku Cik Di Tiro 4, Jakarta Pusat
Telepon: (021) 3153252, Faks: (021) 3160488