TEMPO Interaktif, Biduk keluarga tak selamanya aman tenteram. Riak-riak kecil bisa menyulut pertengkaran. Bahkan dari kejanggalan perilaku, bisa berlanjut curiga, dan akhirnya cemburu. Ada cemburu karena fakta, tapi tak sedikit pula ada cemburu buta.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa pernikahan tampaknya menghasilkan sebuah efek perlindungan dalam mengurangi keributan-keributan (karena) cemburu. Namun, ketika sebuah pasangan menikah, lalu bertengkar soal kecemburuan, hal itu lebih merusak.
Para peneliti di University of British Columbia dan University of Iowa, Amerika Serikat, Kamis pekan lalu, mendapati bahwa tanpa konflik cemburu, tiga perempat dari individu-individu yang menikah yang disurvei sangat puas dengan aspek-aspek emosional dari pernikahan mereka.
Kemungkinan punya level kepuasan yang sama anjlok kurang dari setengah jika kecemburuan memasuki keluarga tersebut. Untuk pasangan yang hidup serumah tapi belum menikah, probabilitas menjadi sangat emosional puas turun sekitar delapan poin akibat cemburu. Satu kontras serupa tampak pada kenyamanan fisik.
"Kami mengasosiasikan penghargaan tertentu dengan perkawinan, tapi ada risiko untuk itu juga," kata Anthony Paik, asisten profesor sosiologi pada UI College of Liberal Arts and Sciences.
"Banyak keuntungan pernikahan, termasuk komitmen mendalam dan kepercayaan. Tapi saat kecemburuan datang, ketegangan dapat berpengaruh sangat buruk terhadap kepuasan emosional dan fisik. Ini bukan cerita langsung bahwa pernikahan menghasilkan hubungan yang lebih bahagia."
Paik menulis studi tersebut, kemudian dipublikasikan secara online dalam Journal of Sex Research bersama Mariana Gatzeva, dari Department of Human Kinetics pada University of British Columbia.
Mereka menganalisis suatu survei terhadap perkawinan 681 pria dan wanita, baik yang terikat pernikahan maupun kumpul kebo, di daerah Chicago, Amerika Serikat. Para peserta menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah mereka pernah mengalami kecemburuan seksual dan berapa tingkat kepuasan fisik serta emosional dengan hubungan mereka.
Lebih dari setengah individu-individu yang hidup serumah tanpa ikatan melaporkan kecemburuan seksual dibandingkan dengan sepertiga dari individu-individu yang tinggal secara terpisah (seperti kencan pasangan), dan hanya 18 persen individu yang menikah.
Paik mengatakan tingginya angka konflik cemburu di antara para pasangan hidup serumah tanpa ikatan bisa jadi disebabkan oleh harapan yang kuat soal eksklusivitas (studi lain menunjukkan bahwa 95 persen dari pasangan kumpul kebo berharap demikian), tapi kurang mempunyai kesetiaan.
Para periset percaya bahwa pasangan yang sudah menikah mengalami kurang cemburu karena eksklusivitas seksual yang berlangsung awet dengan saling bertukar sumpah--tetapi juga karena mereka lebih saling percaya.
"Mungkin ada seperangkat keyakinan itu pelindung bagi pasangan menikah dalam hal menghindari perasaan iri hati," ujar Paik. "Mereka agak terisolasi karena mereka lebih percaya, dan karena itu lebih cenderung tidak curiga atau mencari pelanggaran."
Paik menambahkan, pemahaman pasangan soal kecemburuan adalah penting karena dapat berguna dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga. "Cemburu adalah emosi yang sangat kuat," ujar Paik. "Dalam banyak kasus, cemburu atau cinta segitiga menjadi dasar motif pembunuhan atau kejahatan kekerasan lainnya di antara pasangan dua insan." l University of Iowa/Psychcentral/Dwi A
Cemburu Facebook
ONTARIO Situs jejaring sosial yang lagi tren macam Facebook ternyata dapat menyulut rasa cemburu. Pandangan ingin menampilkan diri bisa menimbulkan kecemburuan di Facebook untuk mencari informasi tambahan--suatu perilaku yang memperburuk kecemburuan di antara mereka.
Studi di CyberPsychology & Behavior Agustus tahun lalu menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan di Facebook oleh para mahasiswa secara langsung terkait dengan perasaan cemburu terhadap kekasih mereka.
Adalah Amy Muise, MSc; Emily Christofides, MSc; dan Serge Desmarais, PhD, dari University of Guelph, Ontario, Kanada, dalam studinya meneliti ratusan anak muda yang punya hubungan romantis.
Ketiganya menemukan bahwa waktu saat asyik pada situs jejaring sosial seperti Facebook bisa menimbulkan pengetahuan baru tentang pasangannya yang dapat membuatnya curiga dan berujung pada kecemburuan. Kecemburuan, pada gilirannya, membawa mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu terlibat dalam pengawasan online dalam upaya mengungkap lebih banyak informasi yang memicu kecemburuan lebih besar.
Studi bertajuk "Lebih Banyak Informasi daripada yang Kamu Inginkan: Apakah Facebook Membawa Monster Bermata Hijau Kecemburuan?" tersebut menggambarkan bahwa sebuah lingkaran setan di mana penggunaan Facebook dan perasaan cemburu menjadi saling terkait dan memiliki pengaruh negatif terhadap perilaku serta hubungan.
Beberapa partisipan menggambarkan meningkatnya akses Facebook sebagai "kecanduan". Para periset merekomendasikan penelitian lebih lanjut untuk menggali umpan balik ini dan untuk menentukan, apakah hubungan yang serupa antara jejaring sosial online dan kecemburuan terhadap pasangan akan mempengaruhi orang-orang yang usianya lebih dewasa. l Psychcentral