TEMPO Interaktif, Jakarta - Rakha Mukti, 4 tahun, kerap mengalami mimisan dalam setahun terakhir ini. Ibunya, Esty Nuryaningsih, 30 tahun, mengatakan Raka mimisan jika anaknya itu kecapekan. "Sering terjadi setelah pelajaran olahraga," ujarnya. Terkadang mimisan dialami Raka ketika ia bangun tidur.
Dokter spesialis anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, H.A. Sjakti, menjelaskan, mimisan atau epistaksis terjadi akibat pembuluh darah yang pecah di daerah hidung bagian tengah. Akibatnya, lapisan mukosa atau selaput kulit pada hidung lepas.
Sumber perdarahan dapat berasal dari depan hidung (epistaksis anterior) atau belakang hidung (epistaksis posterior). Perdarahan di bagian depan lebih sedikit mengeluarkan darah dibanding di bagian belakang hidung. Hal ini karena pembuluh darah di bagian depan lebih kecil dibanding yang belakang.
Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh jaringannya yang belum kuat atau matang. "Ini terjadi pada anak-anak," ujar Sjakti menjawab telepon Tempo, Rabu lalu. Gangguan mimisan pada anak akan hilang seiring dengan bertambahnya usia. Rata-rata usia anak di atas 7 tahun. "Pembuluh darahnya sudah kuat," katanya.
Kenapa bisa pecah? Menurut alumnus Universitas Indonesia ini, hal itu terjadi akibat kepanasan atau berolahraga sehingga pembuluh darah yang masih muda dipaksa bekerja lebih keras. Bisa juga disebabkan oleh perlakuan kasar. Misalkan, anak mengorek-ngorek hidung, hidung terpukul atau terbentur. "Bisa juga karena alergi aroma tertentu," ujar Sjakti. Penyebab lainnya adalah suhu yang sangat dingin serta perubahan tekanan udara saat naik pesawat.
Penanganan pertama yang benar pada penderita mimisan sangat diperlukan. Kalau salah ditangani, kata Robert Mills, Kepala Unit Otolaryngology Universitas Edinburgh, Inggris, anak yang mimisan bisa mengalami trauma karena takut melihat darah yang begitu banyak. Orang tua seharusnya tetap tenang saat anaknya mimisan.
Saat anak mulai mimisan, sebaiknya anak didudukkan. Jangan sekali-kali berbaring. Menurut Mills, posisi duduk dapat mempercepat perdarahan berhenti. Berbaring membuat tekanan darah dalam otak meningkat sehingga darah lebih banyak dipompa dalam pembuluh darah. Berbaring juga bisa mengakibatkan darah tertelan dan anak bisa muntah.
Supaya perdarahan berhenti, hidung bagian tengah ditekan dengan ibu jari dan telunjuk selama 10 menit. Batang hidung sebaiknya dikompres dengan es untuk membantu membekukan darah. Bisa juga menggunakan tampon atau kasa steril untuk menyumbat darah. Sering kita jumpai orang menggunakan daun sirih untuk menyumbat darah yang keluar. Menurut Sjakti, penggunaan daun sirih tidak berbahaya. "Fungsinya sama dengan tampon," katanya.
Bagaimana kalau darah tak kunjung berhenti? Ulangi gerakan menutup dan menekan hidung. Jika darah masih mengucur, segera hubungi dokter. Namun, jika darah akhirnya berhenti, sebaiknya anak tidak mengembuskan napas terlampau keras melalui hidung. Mereka juga perlu dijelaskan supaya tidak mengorek hidung.
Orang tua hendaknya waspada jika frekuensi mimisan cukup sering, tiap 1-2 hari. Ada kemungkinan si kecil mengidap penyakit berbahaya, seperti demam berdarah, leukemia, atau hemofilia. Penyakit ini bisa menunjukkan gejala mimisan. Penderita hemofilia memiliki kelemahan dalam pembekuan darah.
Kekurangan trombosit, kata Sjakti, juga merupakan penyebab mimisan yang sukar dihentikan. Penggunaan obat-obat tertentu pun bisa menyebabkan mimisan. Obat antipanas yang mengandung asam asetilsalisilat (aspirin), misalnya, pada beberapa anak bisa menyebabkan mimisan.
AKBAR TRI KURNIAWAN