TEMPO Interaktif, Tiap suami-istri itu menginap di hotel, suami sering merekam hubungan seks mereka dengan ponsel. Rekaman itu lalu ditonton bareng. Namun rekaman itu tak pernah disimpan dalam jangka lama. "Kami hapus tiap kali check-out dari hotel," kata Bambang (nama samaran), sang suami. Pasalnya, dia takut rekaman itu jatuh ke tangan orang yang tak bertanggung jawab dan diunggah ke dunia maya. "Saya sering menemukan rekaman itu di Internet," kata dia.
Menurut pakar seksologi Prof Dr dr Wimpie Pangkahila SpAnd, FAACS, dalam ranah ilmu seks, kebiasaan merekam hubungan seks itu tidak termasuk kelainan. "Tak ada yang salah dengan merekam hubungan seks," kata dia ketika ditemui seusai bincang-bincang seks di Jakarta kemarin.
Menurut pengajar di bagian andrologi dan seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu, pasangan yang merekam adegan hubungan seks mereka laiknya orang membuat dokumentasi keluarga. "Tapi ini privat, jadi harus cermat menyimpan rekamannya," kata dia. Pasalnya, jika jatuh ke tangan anak-anak atau orang yang tak bertanggung jawab, bisa menimbulkan efek yang tak diinginkan.
Menurut psikolog Kassandra Putranto, membuat rekaman adegan seks itu wajar. "Wajar karena faktanya banyak orang yang melakukannya," kata dia. Menurut dia, orang bisa mencari fantasi dengan merekam adegan seks dirinya untuk kepentingan pribadi. Namun, jika orang merekam dan menyebarkannya, ada kemungkinan orang itu menderita kelainan ekshibisionis.
Kelainan lain dalam perilaku seks adalah berhubungan seks dengan beberapa orang (hiperseks), dengan sesama dan lawan jenis kelamin (biseks), dengan anak (paedofilia), berhubungan seks disertai dengan kekerasan (sadomasokis), atau kecanduan seks (adiksi seksual).
Kassandra menyatakan masih banyak kemungkinan adanya kelainan psikologis yang menimpa orang yang tampil dalam kasus video porno tiga orang yang mirip artis ternama, yang kini sedang ramai dibicarakan. "Perlu pembuktian dan pemeriksaan apakah perekam adegan itu mengalami kelainan psikologis (disorder) atau tidak," kata dia.
Menurut Kassandra, ada kemungkinan perekam video itu memiliki gejala narsisme. Gejala narsisme di antaranya ditandai dengan sikap egois, sayang diri sendiri, dan menempatkan kepentingan dirinya di atas kepentingan lain. "Bukan narcissistic personality disorder (NPD)," kata dia. Narcissistic personality disorder merupakan gangguan jiwa ringan, seperti halnya shopaholic (gila belanja). Umumnya, shopaholic banyak dialami wanita. Sedangkan NPD oleh pria.
Russell Stambaugh, PhD psikolog dan terapis seks dari Michigan, menyatakan pornografi lebih banyak dikonsumsi pria. Pasalnya, otak pria memang mudah tersulut oleh rangsangan seksual. Sel otak lelaki memiliki saraf cermin yang mudah tersulut jika ada pornografi. Saraf ini memainkan peran penting atas gairah seksual pria.
Dengan kondisi ini, setiap ada kesempatan, pria langsung mengakses pornografi dan terangsang. Menurut survei Pew Internet & American Life Project Mei 2004, 26 persen pengakses Internet pria mengunjungi situs porno dan hanya 3 persen dari wanita melongok situs porno.
Nur Rochmi | berbagai sumber