TEMPO Interaktif, Makassar- Lahan itu dulu adalah Terminal Toddopuli. Karena lama tidak diurus, rumput liar tumbuh subur di sana. Hampir tidak ada lagi orang yang mau menjamah tempat itu.
Namun, Sabtu lalu, ada suasana yang berbeda di tanah lapang seluas 1 hektare itu. Orang berduyun-duyun masuk ke area bekas terminal itu. Selain ada yang berjalan kaki, tidak sedikit yang menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Suara mereka terdengar riuh rendah, bersahutan dengan kokok ayam jantan. "Ini lomba ayam ketawa yang baru pertama kali digelar di Makassar," kata Wisnu Wibawa, panitia lomba.
Lomba ayam ketawa ini mirip perlombaan burung perkutut yang sering digelar di berbagai daerah. Hanya, dalam lomba ayam ketawa, yang diperlombakan adalah ayam jenis gagak atau sering disebut ayam ketawa, karena suaranya mirip orang tertawa. "Ini ayam asli Sulawesi Selatan," kata Wisnu. Perlombaan itu diikuti sekitar 600 peserta dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Bahkan ada beberapa peserta yang berasal dari Sulawesi Barat dan Jawa.
Ketua Persatuan Ayam Gagak Indonesia Sulawesi Selatan Dedy Mustafa mengatakan kegiatan ini digelar untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap usaha pengembangbiakan ayam gagak. "Bibitnya hanya bisa ditemukan di Kabupaten Sidrap (Sidenreng Rappang)," katanya. Dia berharap, dengan adanya perlombaan, minat masyarakat meningkat, sehingga nilai jual ayam gagak menjadi naik.
Menurut Dedy, secara umum bentuk fisik ayam gagak sangat mirip ayam buras atau lebih dikenal dengan sebutan ayam kampung. Hanya, ayam gagak memiliki suara yang khas. Kekhasan inilah yang dinilai juri dalam perlombaan. Semakin nyaring dan panjang suaranya, semakin tinggi nilai yang diperoleh ayam itu.
Untuk ayam kampung dewasa, harga jualnya paling mahal sekitar Rp 150 ribu. Namun, untuk ayam gagak, bibitnya yang baru berumur 3 bulan saja sudah mencapai Rp 400 ribu. Sedangkan harga jual untuk yang dewasa bisa mencapai jutaan rupiah. "Tergantung seberapa bagus suaranya," kata Dedy.
Mahmud Tang, peserta lomba dari Kabupaten Sinjai, mengatakan dia tertarik memelihara ayam gagak karena dulu unggas ini adalah hewan peliharaan kaum bangsawan yang sering dijadikan sebagai simbol status sosial. Sangat jarang warga biasa memelihara jenis ayam ini karena mereka sungkan kepada penguasa. Akhirnya perkembangan ayam ketawa pun menjadi terbatas. Mahmud merasa bangga bisa memiliki ayam yang bernilai sejarah itu. "Selain kepuasan mendengar kokoknya tentu."
Untuk menilai keindahan suara ayam gagak, komunitas penggemar ayam ini kerap menggunakan istilah "slow" dan "dangdut". Karakter suara kokok yang memiliki ketukan pendek menjadi dasar penilaian untuk kategori "slow". Jika ketukan suara kokok rapat dan lebih panjang di bagian akhir, masuk kategori "dangdut". "Dalam lomba, kami juga menggunakan dua kategori itu," kata Dedy.
Bakri Samad, penggemar ayam gagak asal Sidrap, mengatakan karakter kokok ayam dari keturunan asli hanya terdapat di Kabupaten Sidrap. Konon, ayam jenis ini menjadi binatang peliharaan keluarga Kerajaan Sidrap. Karena itu, tidak mengherankan jika saat ini banyak penggemar unggas dari luar kota yang berburu ayam gagak di kabupaten tersebut. "Sekarang usaha peternakan ayam gagak berkembang pesat di Sidrap," katanya.
Usaha serupa sudah menjalar ke wilayah tetangga, Parepare. Udin, peternak ayam ketawa, mengatakan ia sudah 3 tahun mengembangbiakkan ayam jenis ini. Warga Jalan Pelita Utara, Parepare, ini memiliki bibit yang berasal dari keturunan langsung ayam gagak. Menurut Udin, penggemar ayam gagak saat ini sudah menyebar ke berbagai daerah. Buktinya, dia kerap mendapat pesanan dari luar Sulawesi. "Kebanyakan dari Jawa dan Sumatera," katanya.
| ARIFUDDIN KUNU | SUSENO