TEMPO Interaktif, Jakarta -Batik, bagi masyarakat Jawa, adalah bagian dari napas kehidupan. Batik akan bertutur tentang siklus panjang kehidupan manusia. Mulai hari pertama dilahirkan ke bumi, bayi di Jawa dibungkus dengan kain batik untuk melindungi tubuh mungilnya dari panas dan dingin. Lalu, saat remaja, batik pun dekat dengan kehidupan. Hingga menginjak dewasa dan melangsungkan pernikahan, batik menjadi busananya. Bahkan ketika ajal menjemput, batik akan menyelimuti hingga detik terakhir sebelum dimasukkan ke liang lahad.
"Batik bertutur tentang kehidupan siklus panjang manusia secara holistik," kata Sri Soedewi Samsi, 80 tahun, yang meluncurkan buku Teknik dan Ragam Hias Batik Yogya & Solo pekan lalu di Restoran Palalada, Alun-alun Indonesia, Sudirman, Jakarta. Dia meyakini bahwa batik mampu bertutur mengenai pergulatan intens masyarakat Jawa yang melahirkan kekayaan corak atau motif dan gaya pembatikan. Ribuan corak atau motif batik telah hidup dan berkembang di masyarakat sejak ratusan tahun silam. Batik sarat akan makna filosofis yang terkandung pada setiap corak atau motifnya. Bahkan ada beberapa motif yang dikenal sebagai "milik" raja yang hanya boleh dikenakan oleh raja yang bertakhta, seperti parang barong.
Menurut wanita berkerudung itu, kesahajaan cara hidup orang Jawa yang enggan menonjolkan diri telah melahirkan dilema dalam penelusuran sejarah desain batik. Dewi --demikian sapaannya--percaya bahwa batik pun bertutur tentang setiap daerah di tanah Jawa yang memiliki motif dan corak yang khas sebagai identitas daerah tersebut. "Namun tidak ada seorang pun yang bisa dengan akurat menyebutkan pencipta perancang motif batik. Yang banyak diketahui adalah motif atau corak tersebut sudah ada di masyarakat sejak dulu secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran lisan dari mulut ke mulut," ujarnya panjang-lebar.
Ketiadaan referensi tertulis mengenai koleksi motif atau corak batik tradisional menyebabkan kesenjangan pengetahuan dalam lintas generasi. Masalah akan muncul ketika generasi tua yang mengerti tentang corak atau motif tersebut telah tiada tanpa sempat menurunkan seluruh ilmunya kepada generasi muda. Kesenjangan ini menimbulkan ketidakmengertian generasi muda akan kekayaan warisan masa lalu. "Makanya saya membuat buku ini supaya mengetahui sesungguhnya batik Jawa kaya akan corak dan motif, yang jumlahnya bisa mencapai ribuan."
Dewi, sejak 1970, mengumpulkan corak dan motif batik tradisional, khususnya Yogyakarta dan Solo, dengan berkeliling, dari satu desa ke desa lain. "Saya berhasil mendapatkan corak atau motif batik khas desa setempat," ujarnya. Dalam penelusuran ini, dia menjumpai kain batik siap pakai berupa selendang, kain panjang, taplak, seprai dan sebagainya.
Dari kain batik siap pakai inilah dia mempelajari setiap lekuk, garis, dan ornamen yang kemudian diterjemahkan menjadi gambar pola. Dewi dibantu seorang wanita Jawa yang memang berprofesi sebagai "penggambar pola batik", yakni Ibu Mangundikarso (almarhum), yang menggambar ulang setiap motif secara detail. Ia menamainya sesuai dengan nama yang dikenal masyarakat desa setempat. "Saya meyakini batik bertutur dengan indah tentang kehidupan. Maka, setelah gambar ulang motif, saya melakukan pengelompokan sesuai jenisnya."
Dewi menjelaskan, motif parang dan kawung yang sudah dikenal masyarakat di buku ini memiliki banyak desain turunan. Kedua motif favorit itu mengasah kreativitas masyarakat Jawa sehingga menghasilkan berbagai jenis bentuk parang, seperti parang harjuno, parang sisik, dan parang srimpi. "Total terdapat 60 jenis variasi parang dan 23 jenis variasi kawung," kata Dewi, yang memberi nama variasi kawung gringsing, kawung picis, kawung ukel, dan sebagainya. Dalam buku tersebut, ia menuliskan 370 corak atau motif berikut ribuan jenis variasinya.
Wanita sepuh yang masih energetik ini mengakui tugasnya sebagai Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Kerajinan Batik serta Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta memberikan akses luas tentang sentra batik trehadap dua daerah tersebut. Dia ingin agar bukunya mudah dicerna serta masyarakat lebih mudah memahami dan dapat meniru motif tersebut. "Motif-motif itu milik rakyat dan akan saya kembalikan ke rakyat. Saya hanya mengumpulkan dari berbagai pelosok, merekonstruksi dan menggambarkan ulang. Biar masyarakat yang memilih dan bisa meniru detail motif batik," ujar Dewi, yang berharap sasaran pembaca bukunya tak hanya pelajar dan masyarakat umum, tapi juga seniman, perancang, dan pengusaha batik supaya memiliki referensi tentang motif atau corak batik.
I HADRIANI P