TEMPO Interaktif, Jakarta - Sate tak hanya dipunyai Indonesia, tapi juga dikenal di sejumlah negara lain. Salah satunya Jepang. Di negeri itu, sate biasa disebut dengan yakitori.
Namun, dibanding sate Indonesia, usia sate Jepang jauh lebih muda. Hirohisa Koyama, Presiden NPO Nippon Culinary Exchange Institute, dalam sebuah kesempatan mengatakan sate Jepang baru dikenal setelah Perang Dunia II. Sedangkan di Indonesia, sate sudah dikenal sejak awal abad ke-19.
Rasa kedua masakan ini tentu saja berbeda. Rasa sate Jepang gurih dan cenderung asin. Sedangkan rasa sate Indonesia gurih dan cenderung manis. Soalnya, sate Indonesia memang memakai kecap manis bersama aneka bumbu. Sedangkan sate Jepang dibumbui garam dan kecap.
Di Jakarta, sate Jepang tak sulit dicari. Ada banyak restoran Jepang yang menyediakannya. Salah satu resto yang menghadirkan menu itu adalah Sekai Restaurant. Resto di kawasan Blok S, Jakarta Selatan, ini menghadirkan berbagai jenis yakitori. Misalnya yakitori daging ayam, sapi, lidah sapi, telur puyuh, dan kulit ayam.
Ada pula campuran bahan lain, misalnya pada yakitori negima. Sate ini terdiri atas daging ayam tanpa lemak dan daun bawang. Potongan dagingnya lebih besar daripada sate lokal, kira-kira dua ruas jari manusia. Campuran daun bawang membuat aromanya wangi dan segar.
Tak hanya dari hewan darat, yakitori juga ada yang dari jamur atau biota laut, seperti udang, cumi, tiram, dan ikan kecil. Yakitori jenis lain adalah soseiji (sosis ayam/sapi), tori momo (daging paha ayam), teba (daging sayap ayam), dan gyuniku (daging sapi).
Bagi Anda yang tidak memakan daging atau vegetarian, ada juga varian yakitori dari tumbuhan, seperti shitake (jamur Jepang), yakitori sweet corn (jagung manis), dan sweet potato (ubi manis).
Salah satu yang spesial di restoran ini adalah tsukune. Sate ini terbuat dari daging ayam cincang dengan pilihan berbagai toping, seperti wasabi, keju, abon sapi/ikan, mayones, bubuk lada hitam, rumput laut, serta mayones pedas atau togarasi (cabai bubuk Jepang). "Tsukune ini jadi favorit pengunjung," kata Restaurant Manager Sekai, Ahmad Isnaeni.
Dalam pengolahannya, yakitori dimasak dengan cara dibakar di atas arang selama lima menit dengan suhu 150-200 derajat Celsius. Bagi masyarakat Jepang, kata Ahmad, sate ini biasa disajikan untuk makanan sepanjang hari. Yakitori dimakan tanpa makanan pokok, seperti nasi atau lontong.
Namun, untuk penyajian di Sekai, kata Ahmad, ada juga adaptasi bumbu lokal Indonesia, misalnya bumbu saus ponzu dari Jepang dicampur dengan irisan cabai. Saus ponzu yang berwarna cokelat ini rasanya asam. Bagi kalangan yang baru mencoba masakan Jepang, umumnya merasakan saus ini terlalu asam.
Dengan tambahan irisan cabai atau bumbu kacang dalam ponzu, rasa lokal masih terasa. "Biar tak kaget dengan masakan Jepang," kata dia. Rasanya jadi mirip bumbu kecap sate kambing lokal, hanya lebih cair. Ada juga adaptasi bumbu dengan saus tomat atau wijen.
Lain Negara, Lain Nama Sate
Belanda
Dikenal sebagai sateh. Diadaptasi dari Indonesia karena pernah dijajah Belanda. Terbuat dari daging babi, kambing, atau ayam. Umumnya disajikan dengan saus kacang pedas atau kecap manis. Kadang disajikan bersama salad atau kentang.
Filipina
Ada dua jenis sate. Pertama, orang-orang keturunan Spanyol di Luzon dan Visayas membuat sate dari babi atau ayam. Daging diasinkan, kemudian diguyur kecap dan saus tomat, lalu dipanggang. Karena pengaruh Amerika, jenis ini disebut barbecue/barbikyu.
Kedua adalah satti. Ini adalah masakan orang Moro di Filipina selatan (Mindanao, Sulu, Palawan selatan, dan Tawi-tawi). Karena mayoritas muslim, daging yang biasa dibuat satti adalah daging hewan halal. Satti mirip sate tradisional Melayu dan Indonesia. Kemiripannya mulai cara memasak hingga jenis dagingnya. Perbedaannya, satti disajikan dengan sup kacang kental.
Singapura dan Malaysia
Dua negara tetangga ini juga memiliki masakan sate. Baik pemasakan maupun penyajiannya mirip sate di Indonesia.
NUR ROCHMI | berbagai sumber