TEMPO Interaktif, Bandung -Sesak dan hiruk-pikuk Jakarta membuat banyak kalangan sering merindukan suasana alami: lingkungan yang tenang, sungai jernih, hamparan padi, serta sejuknya hawa pegunungan.
Banyak warga Jakarta memburu ketenangan pada akhir pekan dengan pergi ke Puncak, Bogor, atau ke Lembang, Bandung. Bandung menjadi pilihan karena akses tol yang mudah dan lumayan cepat, sekitar dua jam dari Jakarta.
Baca Juga:
Banyak tempat wisata dan penginapan yang tersebar di kawasan berhawa sejuk ini. Salah satunya Jadul Village. Letaknya sembilan kilometer ke arah barat dari Kota Bandung, di kaki Gunung Tangkuban Perahu.
Terletak di kawasan seluas lima hektare di Cihideung, Lembang, Bandung, tempat peristirahatan ini baru dibangun setahun lalu. Isinya berupa vila, restoran, gazebo, dan fasilitas spa. Ketika masuk ke kompleks ini, beberapa sangkar burung tergantung menyapa di pintu masuk. Sangkar ini bukan berisi burung, melainkan lampu.
Di lokasi penginapan ini, bangunan didominasi oleh kayu-kayu jati kuno. "Paling muda kayunya umur 50 tahun, paling tua 300 tahun," kata Direktur of Sales Marketing Djumhar Harhab. Selain itu, banyak aksesori kuno dipajang di sini. Mulai brankas besi, lampu, lemari kayu, gebyok, furnitur, timbangan bayi, galon dari kaca, bahkan rumah Jawa kuno.
Benda-benda itu hasil perburuan si pemilik penginapan ini, Linda Chaisya. Sayangnya, dia belum bisa ditemui. Menurut Djumhar, bosnya memburu bangunan berbahan kayu itu di pedalaman Jawa Tengah. Bangunan itu diboyong ke Lembang dan dibangun ulang jadi vila.
Di area seluas 3,5 hektare itu, total ada 21 vila. Ada tiga jenis vila: gebyok, joglo, dan limasan. Semua bangunan vila terbuat dari kayu jati kuno. Bedanya hanya pada ukuran luas vila. Luas vila gebyok 110 meter persegi, joglo luasnya 110-220 meter persegi, dan limasan 300 meter persegi.
Setiap vila memiliki bak untuk berendam, yang terbuat dari batu kali berukuran besar. Ukurannya beragam, tapi minimal bisa menampung satu orang. Wastafel setiap kamar juga terbuat dari batu kali.
Ini sesuai dengan suasana alami zaman dulu. Kamar mandinya luas dan terbuka, seperti kamar mandi model Jawa lama. Suasana alami juga muncul dari gazebo yang dikelilingi sawah buatan. "Jika tak ada listrik, rasanya seperti kembali ke masa lalu, pada era Jawa tahun 1800-an," kata Djumhar.
Selain itu, kolam teratai menghiasi ruang spa yang terletak di pojok kawasan ini. Di tengah kawasan ini ada lapangan kira-kira berukuran setengah lapangan sepak bola. Sebuah bokor besar berdiameter 3 meter berada di tengah alun-alun. Bokor besar dari besi itu hasil perburuan Linda. Berkeliling di kawasan penginapan ini serasa berada di pedalaman Jawa zaman Pangeran Diponegoro.
Menurut Hidayat, salah satu pengunjung, penginapan ini nyaman dan sejuk. Tapi, menurut dia, kamar mandi yang terbuka tak cocok jika untuk menginap bersama rekan kantor atau kolega. "Kamar mandinya kurang private. Cocoknya untuk mereka yang berbulan madu, pasangan suami-istri, atau mereka yang mau menyepi," kata dia. Selain itu, kawasan ini lebih cocok dinikmati pada malam hari. Aura Jawa tempo doeloe akan muncul jika malam telah tiba. Rasanya seperti jauh menyepi ke masa lalu, menjauhi hiruk-pikuk kota. Untuk menikmati penginapan bersuasana tempo doeloe ini, tarifnya beragam, mulai Rp 1,5 juta hingga Rp 3,5 juta.
Bukan hanya Jadul Village, tempat lain yang menyajikan suasana yang sama adalah Amanjiwo Resort, yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah. Tempat yang memiliki arti "kedamaian jiwa" ini resmi didirikan pada 1997. Menjadi sebuah penginapan monumental yang dibangun dengan menggunakan batu kapur atau gamping yang terinspirasi oleh budaya Jawa Tengah. Tempat ini memakai amphitheater alami berupa perbukitan batu kapur Menoreh yang berdiri berjajar di belakangnya, dataran Kedu di depan, dan empat gunung, Sumbing, Sindoro, Merbabu, serta Merapi, yang menjulang menggapai horizon. Desain yang berbentuk Candi Borobudur tecermin pada kubah utama tempat ini.
Resor ini memiliki 36 kamar yang tersebar di luar bangunan utama. Setiap kamar berantai membentuk dua bangunan melengkung seperti sabit dengan pemandangan Candi Borobudur dan lembah-lembah perbukitan yang mengingatkan kita akan kisah kejayaan kerajaan pada masa lampau. Adapun harga menginap di sini mulai US$ 700.
Masih di Magelang, juga terdapat Losari Coffee Plantation seluas 22 hektare. Perkebunan kopi yang rimbun dan terpencil ini menyajikan petualangan naik gajah, berwisata di kuil-kuil kuno, bermain golf dan tenis, rakit, memancing ikan, sepeda gunung, berjalan kaki, serta wisata pedesaan naik kereta uap tahun 1902. Setiap kamar di sini berupa gebyok atau furnitur yang terbuat dari jati yang usianya mencapai ratusan tahun. | M NUR ROCHMI | HADRIANI P