TEMPO Interaktif, Jakarta - Pesta Kuliner Yogya yang berlangsung kemarin dan hari ini di Taman Ismail Marzuki menyajikan aneka makanan khas Yogya dan menu tempo dulu. Salah satunya adalah semur. Menu berupa daging sapi rebus yang dibumbui tomat, bawang dan kecap ini hmm... sedaap. Di rumah, di kantor, di rumah makan besar atau warung pinggir jalan, makanan ini tersedia. Namun, tahukah Anda bahwa hidangan ini ternyata memiliki sekelumit cerita dan bagian dari warisan tradisi kuliner yang tersebar di penjuru nusantara.
Ahli kajian budaya dan Manajer Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Dr. phil. Lily Tjahjandari, mengatakan kata 'Semur' merupakan bahasa serapan dari kata 'Smoor'. "Dalam bahasa belanda berarti masakan itu telah direbus dengan tomat dan bawang secara perlahan," kata Lily dalam diskusi 'Semur, Turun Temurun Menghangatkan Hati Keluarga Indonesia," di Kampung Daun, belum lama ini.
Namun sayangnya, asal muasal bagaimana masakan ini dibuat tak pernah teracatat. "Indonesia memiliki budaya lisan yang kuat, bukan budaya menulis dan mencatat hal-hal menarik," kata Lily. Chef Ragil Imam Wibowo, Pakar makanan dan Direktur F&B di beberapa rumah makan di Jakarta menduga, semur tercipta dari keinginan masyarakat betawi untuk menciptakan hidangan yang mirip dengan menu Belanda, Haache.
Hachee sendiri merupakan menu tradisional Belanda Selatan dimana daging sapi direbus bersama bawang dan vinegar. Biasanya Haache dihidangkan bersama kol merah, apel, kentang atau nasi.
"Orang pribumi hanya melihat, warnanya (Hachee) cokelat dan menebak-nebak rasanya," kata Ragil. Kemudian mereka mencari rempah yang bisa menghasilkan warna cokelat. Dari kreativitas itu jadilah semur. Meski mirip, rasanya berbeda. "Warna cokelat pada hachee berasal dari brown stock, yang dibuat dari tulang sapi yang dibakar. Rasa hachee juga agak asin. Sementara kalau semur cokelatnya berasal dari kecap manis, jadi rasanya manis dan gurih," kata Ragil.
Ragil menduga semur pertama kali diciptakan masyarakat betawi, "rasa semur betawi paling kuat dibandingkan semur di daerah lain," katanya. Lily ternyata sependapat. Menurut dia, semur kemungkinan besar tercipta di tanah betawi pada masa penjajahan Belanda. "Pada masa berkuasanya VOC (perusahaan dagang belanda), Batavia merupakan pusat operasi," kata Lily. Semua rempah dan komoditi dari penjuru nusantara ditumpuk di cikal bakal ibukota Indonesia ini sebelum dikirim ke negeri kincir angin.
Banyaknya pilihan rempah itu, kata Lily, membuat masyarakat pribumi yang tinggal di Batavia (betawi) memiliki lebih banyak pilihan dan kesempatan dalam menghasilkan kreasi hidangan unik seperti Semur. "Pengaruh cita rasa Eropa, Belanda, dan interaksi budaya antar kaum pribumi dan asing juga mempengaruhi kreasi hidangan semur masyarakat betawi," kata Lily.
Sebenarnya teknik pengolahan daging dengan direbus dan menambahkan aneka bumbu bukan hal baru. "Teknik memasak memang bukan sesuatu yang baru, tapi hidangan semur itu sendiri, baru. Asli Indonesia," kata Ragil. Seiring berjalannya waktu, Semur menjadi tradisi bangsa Indonesia dan dihidangkan di berbagai perhelatan adat.
Masyarakat Betawi menjadikan Semur sebagai bagian dari tradisi yang dihidangkan saat Lebaran dan acara perkawinan. Semur kemudian muncul pada perayaan di penjuru nusantara seperti Kalimantan dan Sumatera. Tentunya, dengan citarasa dan tampilan yang disesuaikan dengan selera masyarakat setempat.
"Setiap daerah memiliki karakteristik khasnya masing-masing dalam menghidangkan hidangan ala Semur," kata Lily. Citarasa dan isi Semur pun cukup beragam dengan elemen dasar yang dihasilkan dari rempah-rempah di Indonesia, yaitu lada, pala, cengkeh, ditambah kecap manis. Kreasi Semur juga di beberapa daerah diganti dengan sumber protein lain seperti telur, tahu, tempe yang dipadukan dengan kentang dan sayur-sayuran lain.
Semur juga diterima dengan baik oleh lidah Belanda dan menjadi menu utama dalam budaya Rijsttafel Belanda. Rijsttafel (dibaca "rèisttafel") Rijsttafel pada dasarnya adalah konsep penyajian makanan lengkap ala restoran di Eropa, yang diawali dengan makanan pembuka (appetizer), lalu makanan utama (main course), dan diakhiri dengan makanan penutup (dessert). Titik berat ditujukan pada cara penyajian dan kemeriahan.
Namun pada penyajian rijsttafel pada masa kolonial Belanda di Nusantara yang disajikan bukanlah masakan Eropa melainkan masakan Nusantara. Hidangan semur menjadi menu dalam rijsttafel, bedanya yang direbus bukan daging sapi tapi daging ayam. "daging sepi sudah dihidangkan sebagai rendang pada hidangan rijsttafel," kata Ragil.
Ragil sendiri ingin agar tradisi kuliner yang dikembangkan sejak 400 tahun silam (masa awal kekuasaan VOC) ini terus lestari. "Peranan Ibu untuk lebih sering menghidangkan Semur perlu ditingkatkan untuk melestarikan hidangan warisan tradisi ini dan agar tidak diklaim sebagai budaya negara lain," kata Ragil.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI